JAKARTA, Cobisnis.com - Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) terus dorong industri pangan untuk mengangkat potensi pangan lokal. Langkah ini sebagai mewujudkan kemandirian pangan berbasis sumber daya lokal.
Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan NFA Andriko Noto Susanto mengatakan salah satu pangan lokal yang bisa dikembanhkan adalah sagu.
Hal ini disampaikan saat melakukan kunjungan ke pabrik pengolahan sagu PT Galih Sagu Pangan di Tangerang, Banten.
Dalam kunjungannya, Andriko menegaskan bahwa sudah saatnya pangan lokal diangkat dan dijadikan bagian integral dari ketahanan pangan nasional.
“Kita memiliki banyak potensi pangan lokal seperti sagu yang belum dioptimalkan. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Pangan, sudah waktunya kita memanfaatkan sumber daya ini untuk mendukung kemandirian pangan nasional,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat, 12 Juli.
Andriko menegaskan, pentingnya mengangkat pangan lokal sesuai amanat Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012.
Berdasarkan data, lanjutnya, selama sepuluh tahun terakhir Indonesia mengalami pergeseran pola konsumsi yang semakin seragam.
“Hal ini memiliki risiko jika terjadi kerentanan pangan sehingga perlu diantisipasi. Diversifikasi pangan sangat penting untuk mewujudkan kemandirian pangan berbasis sumber daya lokal. Sudah saatnya kita mengangkat pangan lokal seperti sagu yang memiliki potensi besar,” ujarnya.
Andriko mengatakan, Bapanas berkomitmen untuk menjadikan pangan lokal sebagai bagian dari Cadangan Pangan Pemerintah (CCP) maupun Cadangan Pangan Pemerintah Daerah (CPPD) selain beras, sesuai dengan potensi masing-masing daerah.
“Dengan sinergi antara stakeholder pangan, baik dari pemerintah, swasta, dan masyarakat, kita dapat mengoptimalkan potensi lokal setiap daerah untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional,” kata Andriko.
Sementara itu, Kepala NFA Arief Prasetyo Adi menyatakan, diversifikasi pangan merupakan langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis pangan seperti beras.
“Diversifikasi pangan tidak hanya penting untuk ketahanan pangan, tetapi juga untuk kesehatan masyarakat. Pangan lokal seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian memiliki nilai gizi yang tinggi dan bisa menjadi alternatif yang sehat,” jelas Arief.
Menurut Arief, pengembangan pangan lokal seperti sagu tidak hanya meningkatkan ketahanan pangan tetapi juga memperkuat perekonomian daerah.
“Badan Pangan Nasional berkomitmen untuk terus mendorong penggunaan pangan lokal dalam program-program ketahanan pangan nasional,” tegas Arief.
Sekadar informasi, PT Galih Sagu Pangan sendiri sudah memproduksi beras sagu dari tahun 2018.
Orientasi dari Industri Kecil Menengah (IKM) ini adalah menjadikan beras sagu sebagai alternatif ketahanan pangan lokal masyarakat di seluruh Nusantara maupun Mancanegara.
Ada berbagai jenis produk yang dihasilkan dari olahan sagu seperti snack dan mie sagu, serta produk unggulannya yaitu beras sagu.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi sagu nasional pada 2022 mencapai 367.132 ton, dengan Riau sebagai provinsi penghasil terbesar yang menyumbang 274.807 ton.
Produksi sagu ini menunjukkan potensi besar alternatif pangan selain beras, dimulai dari mengembalikan kebiasaan konsumsi sagu sebagai makanan pokok seperti di wilayah Papua, Maluku, atau wilayah timur lainnya.
Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan NFA Andriko Noto Susanto mengatakan salah satu pangan lokal yang bisa dikembanhkan adalah sagu.
Hal ini disampaikan saat melakukan kunjungan ke pabrik pengolahan sagu PT Galih Sagu Pangan di Tangerang, Banten.
Dalam kunjungannya, Andriko menegaskan bahwa sudah saatnya pangan lokal diangkat dan dijadikan bagian integral dari ketahanan pangan nasional.
“Kita memiliki banyak potensi pangan lokal seperti sagu yang belum dioptimalkan. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Pangan, sudah waktunya kita memanfaatkan sumber daya ini untuk mendukung kemandirian pangan nasional,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat, 12 Juli.
Andriko menegaskan, pentingnya mengangkat pangan lokal sesuai amanat Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012.
Berdasarkan data, lanjutnya, selama sepuluh tahun terakhir Indonesia mengalami pergeseran pola konsumsi yang semakin seragam.
“Hal ini memiliki risiko jika terjadi kerentanan pangan sehingga perlu diantisipasi. Diversifikasi pangan sangat penting untuk mewujudkan kemandirian pangan berbasis sumber daya lokal. Sudah saatnya kita mengangkat pangan lokal seperti sagu yang memiliki potensi besar,” ujarnya.
Andriko mengatakan, Bapanas berkomitmen untuk menjadikan pangan lokal sebagai bagian dari Cadangan Pangan Pemerintah (CCP) maupun Cadangan Pangan Pemerintah Daerah (CPPD) selain beras, sesuai dengan potensi masing-masing daerah.
“Dengan sinergi antara stakeholder pangan, baik dari pemerintah, swasta, dan masyarakat, kita dapat mengoptimalkan potensi lokal setiap daerah untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional,” kata Andriko.
Sementara itu, Kepala NFA Arief Prasetyo Adi menyatakan, diversifikasi pangan merupakan langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis pangan seperti beras.
“Diversifikasi pangan tidak hanya penting untuk ketahanan pangan, tetapi juga untuk kesehatan masyarakat. Pangan lokal seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian memiliki nilai gizi yang tinggi dan bisa menjadi alternatif yang sehat,” jelas Arief.
Menurut Arief, pengembangan pangan lokal seperti sagu tidak hanya meningkatkan ketahanan pangan tetapi juga memperkuat perekonomian daerah.
“Badan Pangan Nasional berkomitmen untuk terus mendorong penggunaan pangan lokal dalam program-program ketahanan pangan nasional,” tegas Arief.
Sekadar informasi, PT Galih Sagu Pangan sendiri sudah memproduksi beras sagu dari tahun 2018.
Orientasi dari Industri Kecil Menengah (IKM) ini adalah menjadikan beras sagu sebagai alternatif ketahanan pangan lokal masyarakat di seluruh Nusantara maupun Mancanegara.
Ada berbagai jenis produk yang dihasilkan dari olahan sagu seperti snack dan mie sagu, serta produk unggulannya yaitu beras sagu.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi sagu nasional pada 2022 mencapai 367.132 ton, dengan Riau sebagai provinsi penghasil terbesar yang menyumbang 274.807 ton.
Produksi sagu ini menunjukkan potensi besar alternatif pangan selain beras, dimulai dari mengembalikan kebiasaan konsumsi sagu sebagai makanan pokok seperti di wilayah Papua, Maluku, atau wilayah timur lainnya.