JAKARTA, Cobisnis.com - Komisi V DPR RI sepakat untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dalam waktu dekat.
Ketua Komisi V DPR RI Lasarus mengatakan, revisi ini perlu dilakukan karena minimnya pengawasan. Sehingga, muncul banyak pekerjaan yang bermasalah.
"Komisi V sudah mengajukan kepada DPR RI yang terhormat melalui badan legislasi, kami akan merevisi UU Jasa Konstruksi, akan kami revisi. Salah satu yang akan kami ajukan perubahan untuk dicermati adalah LPJK akan kami usulkan untuk tidak di bawah Kementerian PUPR," ujar Lasarus saat rapat kerja (Raker) Komisi V DPR RI bersama Kementerian Pekerjaan Umum di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 30 Oktober.
"Kalau dulu, kan, Kementerian PUPR pak. Jadi, nanti LPJK ini akan kami buat kembali ke luar dari kementerian, karena check and balance itu kami lihat lemah terkait pengadaan barang dan jasa selama ini," sambungnya.
Terkait penyusunan mekanismenya, Lasarus bilang, akan didiskusikan lebih lanjut, termasuk seperti naskah akademik dan lain sebagainya.
"Karena dengan UU Jasa Konstruksi yang sudah kami sahkan pada beberapa waktu lalu ada terjadi ketimpangan pak, ada dominasi BUMN terhadap kegiatan-kegiatan APBN. Sehingga, perusahaan kecil di daerah kebagian tugas selesaikan kontrak. Kalau tidak selesai atau bermasalah yang diminta perusahan daerah," katanya.
Menurut Lasarus, langkah DPR ini tidak lepas dari banyaknya perusahaan pemegang tender bermasalah ketika sedang menyelesaikan proyek konstruksi.
"Pengerjaan besar tidak memobilisasi peralatan, mereka pinjam peralatan ke perusahaan daerah. Ketika rugi timbul masalah ditinggalkan, orang yang pinjam alat nggak dibayar, banyak PR tersisa," sebutnya.
Adapun UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menggantikan UU Jasa Konstruksi Nomor 18 Tahun 1999, yang sudah berlaku sekitar 17 tahun. Undang-undang ini hadir sebagai bagian dari upaya menuju tata kelola pemerintahan yang baik, tuntutan era keterbukaan dan harmonisasi dengan peraturan sektor lain yang berlaku setelah diterbitkannya Undang-Undang Jasa Konstruksi tahun 1999, seperti UU Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan aturan terkait lainnya.
Diketahui, UU Jasa Konstruksi yang baru terdiri dari 14 bab dan 106 pasal. UU Jasa Konstruksi ini tidak lagi berorientasi hanya kepada urusan bidang PUPR, tetapi mencakup penyelenggaraan pekerjaan konstruksi di Indonesia secara utuh.
Ketua Komisi V DPR RI Lasarus mengatakan, revisi ini perlu dilakukan karena minimnya pengawasan. Sehingga, muncul banyak pekerjaan yang bermasalah.
"Komisi V sudah mengajukan kepada DPR RI yang terhormat melalui badan legislasi, kami akan merevisi UU Jasa Konstruksi, akan kami revisi. Salah satu yang akan kami ajukan perubahan untuk dicermati adalah LPJK akan kami usulkan untuk tidak di bawah Kementerian PUPR," ujar Lasarus saat rapat kerja (Raker) Komisi V DPR RI bersama Kementerian Pekerjaan Umum di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 30 Oktober.
"Kalau dulu, kan, Kementerian PUPR pak. Jadi, nanti LPJK ini akan kami buat kembali ke luar dari kementerian, karena check and balance itu kami lihat lemah terkait pengadaan barang dan jasa selama ini," sambungnya.
Terkait penyusunan mekanismenya, Lasarus bilang, akan didiskusikan lebih lanjut, termasuk seperti naskah akademik dan lain sebagainya.
"Karena dengan UU Jasa Konstruksi yang sudah kami sahkan pada beberapa waktu lalu ada terjadi ketimpangan pak, ada dominasi BUMN terhadap kegiatan-kegiatan APBN. Sehingga, perusahaan kecil di daerah kebagian tugas selesaikan kontrak. Kalau tidak selesai atau bermasalah yang diminta perusahan daerah," katanya.
Menurut Lasarus, langkah DPR ini tidak lepas dari banyaknya perusahaan pemegang tender bermasalah ketika sedang menyelesaikan proyek konstruksi.
"Pengerjaan besar tidak memobilisasi peralatan, mereka pinjam peralatan ke perusahaan daerah. Ketika rugi timbul masalah ditinggalkan, orang yang pinjam alat nggak dibayar, banyak PR tersisa," sebutnya.
Adapun UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menggantikan UU Jasa Konstruksi Nomor 18 Tahun 1999, yang sudah berlaku sekitar 17 tahun. Undang-undang ini hadir sebagai bagian dari upaya menuju tata kelola pemerintahan yang baik, tuntutan era keterbukaan dan harmonisasi dengan peraturan sektor lain yang berlaku setelah diterbitkannya Undang-Undang Jasa Konstruksi tahun 1999, seperti UU Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan aturan terkait lainnya.
Diketahui, UU Jasa Konstruksi yang baru terdiri dari 14 bab dan 106 pasal. UU Jasa Konstruksi ini tidak lagi berorientasi hanya kepada urusan bidang PUPR, tetapi mencakup penyelenggaraan pekerjaan konstruksi di Indonesia secara utuh.