Jamkrindo

Green Living: Solusi Nyata atau Cuma Estetika Tren Sosial?

Oleh Desti Dwi Natasya pada 03 Dec 2025, 04:32 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Gaya hidup hijau atau green living mulai terlihat di mana-mana: botol minum stainless, totebag, skincare eco-friendly, sampai kafe yang bangga pakai sedotan kertas. Namun, pertanyaan besarnya tetap sama: apakah semua ini benar-benar solusi lingkungan atau hanya tren yang terlihat “benar” di sosial media?

Faktanya, banyak praktik gaya hidup hijau lahir bukan dari kebutuhan lingkungan, tapi dari komodifikasi. Brand mengemas konsep ramah lingkungan sebagai estetika jualan: warna hijau, klaim natural, dan kemasan daur ulang. Produk eco-living akhirnya menjadi gaya hidup baru, bukan perubahan perilaku yang mendasar. Dampaknya? Konsumsi tetap tinggi, hanya barangnya yang berganti “lebih ramah lingkungan”.

Di sisi lain, gaya hidup hijau memang punya dampak positif—tapi skalanya kecil jika dilakukan secara individual. Mengurangi sampah plastik, hemat energi, atau memilih produk lokal tetap membantu. Namun, kontribusi ini tidak akan cukup menahan kerusakan lingkungan jika industri besar, transportasi massal, dan sistem produksi tidak berubah. Masalah lingkungan adalah masalah struktural, bukan hanya gaya hidup personal.

Fenomena greenwashing juga memperkuat keraguan publik. Banyak perusahaan memberi label eco-friendly tanpa perubahan berarti pada proses produksinya. Mereka membuat konsumen merasa sedang “menyelamatkan bumi”, padahal dampaknya minim. Akibatnya, green living menjadi tren yang memberikan rasa puas palsu, bukan solusi nyata.

Tetap saja, gaya hidup hijau tidak sepenuhnya tren kosong. Ketika dilakukan dengan kesadaran dan konsisten, praktik ini dapat mendorong perubahan permintaan pasar. Jika banyak konsumen memilih produk yang benar-benar berkelanjutan, industri perlahan dipaksa menyesuaikan diri. Tren bisa menjadi titik awal transisi yang lebih besar.

Namun, gaya hidup hijau baru berdampak nyata bila digabungkan dengan edukasi dan pengurangan konsumsi. Tidak cukup hanya mengganti plastik dengan bambu jika pola konsumsinya sama besar. Solusi lingkungan sejati justru terletak pada prinsip: beli seperlunya, pakai selama mungkin, dan pahami rantai produksi barang yang kita gunakan.

Pada akhirnya, green living adalah campuran antara solusi dan tren. Ia bisa berarti perubahan positif, atau sekadar estetika gaya hidup tergantung bagaimana kita melakukannya. Jika tujuannya benar, gaya hidup hijau bisa jadi kontribusi kecil dalam gerakan besar penyelamatan bumi. Tapi kalau hanya demi estetika, ia tidak lebih dari branding hidup yang tampak bersih, namun minim dampak.