Jamkrindo

Hak Perempuan Di Israel Merosot Tajam, Aktivis Salahkan Pemerintahan Sayap Kanan Netanyahu

Oleh Zahra Zahwa pada 28 Dec 2025, 15:37 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Penurunan hak-hak perempuan di Israel kian mengkhawatirkan, dengan para aktivis menyalahkan pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang didukung partai-partai ultra-Ortodoks. Kelompok advokasi menilai kebijakan pemerintah saat ini mendorong Israel menuju arah yang lebih religius dan konservatif, dengan konsekuensi serius bagi kesetaraan gender.

Beberapa tahun lalu, sekelompok perempuan yang menamakan diri “Women in Red” melakukan aksi protes diam mengenakan jubah merah dan penutup kepala putih, terinspirasi dari novel distopia The Handmaid’s Tale karya Margaret Atwood. Aksi tersebut dimaksudkan sebagai peringatan bahwa rencana reformasi yudisial pemerintah berpotensi menghapus kemajuan hak perempuan yang telah dicapai selama puluhan tahun.

Kini, peringatan itu dinilai semakin relevan. Pemerintahan Netanyahu tidak hanya berupaya melemahkan Mahkamah Agung yang selama ini menjadi pilar utama perlindungan kesetaraan perempuan tetapi juga mendorong berbagai kebijakan yang memperluas kewenangan lembaga keagamaan dalam kehidupan sipil. Di antaranya adalah rancangan undang-undang yang memungkinkan segregasi gender dalam acara budaya dan pendidikan.

Penurunan hak perempuan di Israel tercermin dalam berbagai indikator global. Dalam Women, Peace and Security Index 2025–2026 yang diterbitkan Universitas Georgetown, Israel berada di peringkat 84 dari 181 negara, turun drastis dari peringkat 27 tiga tahun lalu. Indeks tersebut menilai berbagai faktor, termasuk dampak konflik bersenjata terhadap kehidupan perempuan.

Selain itu, Gender Index terbaru dari Van Leer Jerusalem Institute mencatat penurunan 6 persen dalam kesetaraan gender di Israel, terutama akibat merosotnya kekuatan politik dan ekonomi perempuan. Saat ini, hanya enam dari 33 menteri Israel yang perempuan, dan tidak satu pun menduduki posisi direktur jenderal permanen di lebih dari 30 kementerian. Tidak ada pula partai politik besar yang dipimpin perempuan, bahkan dua partai dalam koalisi Netanyahu sama sekali tidak memiliki kandidat perempuan.

Akademisi Fakultas Hukum dan Studi Gender Universitas Tel Aviv, Daphna Hacker, menyebut kemerosotan ini sebagai sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia mengingatkan bahwa Israel pernah menjadi pelopor kesetaraan perempuan, dengan pencapaian seperti Undang-Undang Kesetaraan Hak Perempuan 1951 dan kepemimpinan Golda Meir sebagai perdana menteri perempuan pada 1969.

Ancaman terbaru datang dari rancangan undang-undang yang akan memperluas kewenangan pengadilan agama negara yang seluruh hakimnya laki-laki untuk menangani sengketa sipil, termasuk urusan keuangan, bisnis, dan potensi hak asuh anak. Kelompok perempuan Bonot Alternativa mengecam langkah ini sebagai upaya menempatkan nasib perempuan di tangan sistem yang dinilai diskriminatif.

Para pendukung kebijakan tersebut beralasan bahwa pengadilan agama pernah memiliki kewenangan serupa sebelum dicabut Mahkamah Agung pada 2006. Namun, organisasi hak perempuan memperingatkan bahwa perluasan ini berpotensi menimbulkan pelanggaran serius terhadap hak perempuan yang bercerai, termasuk dalam hal nafkah dan hak asuh.

Di tengah kondisi ini, kekerasan terhadap perempuan juga meningkat. Tahun ini, tercatat 44 perempuan dibunuh di Israel angka tertinggi dalam satu dekade. Aktivis mengaitkan lonjakan tersebut dengan meningkatnya kepemilikan senjata, yang melonjak sekitar 40 persen sejak aturan perizinan dilonggarkan setelah serangan Hamas pada Oktober 2023.

Anggota parlemen oposisi Merav Cohen menyebut pemerintahan saat ini sebagai yang terburuk bagi perempuan dalam sejarah Israel. Menurutnya, alih-alih bertindak tegas menghadapi krisis, pemerintah justru bersikap acuh atau bahkan menormalkan kerugian yang dialami perempuan.

“Perempuan Israel membayar harga dari koalisi Netanyahu dan diseret kembali puluhan tahun ke belakang,” ujarnya.