JAKARTA, COBISNIS.COM - Harga minyak pada hari Senin, 30 September, hanya mengalami sedikit perubahan, namun secara keseluruhan mencatat penurunan 17% pada kuartal ketiga.
Kekhawatiran tentang potensi konflik yang lebih luas di Timur Tengah, yang dapat mengganggu pasokan minyak, diimbangi oleh kekhawatiran terhadap menurunnya permintaan global.
Menurut laporan dari Reuters, kontrak berjangka minyak Brent untuk pengiriman November, yang berakhir pada hari Senin, turun sebesar 21 sen menjadi US$71,77 per barel.
Sementara itu, kontrak Brent untuk pengiriman Desember, yang lebih banyak diperdagangkan, mengalami kenaikan 27 sen menjadi US$71,81 per barel. Brent juga tercatat mengalami penurunan 9% pada bulan September, penurunan bulanan terbesar sejak November 2022. Selama tiga bulan terakhir berturut-turut, Brent turun 17% pada kuartal ketiga, yang merupakan penurunan kuartalan terbesar dalam setahun.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) hanya mengalami penurunan sebesar 1 sen menjadi US$68,17 per barel. Patokan minyak AS ini tercatat turun 7% pada bulan September, penurunan bulanan terbesar sejak Oktober 2023, serta penurunan 16% pada kuartal ketiga, penurunan kuartalan terbesar sejak kuartal ketiga tahun lalu.
Pada hari Senin, terdapat spekulasi bahwa Iran, produsen minyak utama dan anggota OPEC, dapat terlibat langsung dalam konflik yang meluas di Timur Tengah. Konflik ini juga telah melibatkan Israel yang melakukan serangan terhadap kelompok-kelompok seperti Hezbollah dan Hamas di Lebanon, serta sasaran Houthi di Yaman, yang semuanya memiliki dukungan dari Iran.
Ekonom Matador Economics, Tim Snyder, menjelaskan bahwa pasar sedang mempertimbangkan apakah konflik di Timur Tengah akan berdampak lebih luas di kawasan tersebut. Namun, pengumuman dari Tiongkok mengenai stimulus fiskal yang diharapkan dapat mendukung ekonomi dan meningkatkan permintaan minyak, disambut dengan keraguan oleh para pelaku pasar.
Penurunan harga minyak pekan lalu juga diperparah oleh laporan bahwa Arab Saudi sedang bersiap untuk meninggalkan target harga tidak resmi sebesar US$100 per barel, serta kemungkinan peningkatan produksi minyak pada bulan Desember. Jim Ritterbusch dari Ritterbusch and Associates memperkirakan bahwa langkah Saudi untuk meningkatkan produksi akan menjadi faktor utama yang menekan pasar dalam beberapa pekan mendatang.
Sementara itu, data manufaktur Tiongkok yang menunjukkan penurunan untuk lima bulan berturut-turut, serta prospek pemulihan produksi minyak Libya, juga turut menambah tekanan pada pasar minyak dunia. Parlemen Libya telah menyetujui calon gubernur bank sentral baru, yang diharapkan dapat membantu mengakhiri krisis yang mempengaruhi produksi minyak negara tersebut.
Kekhawatiran tentang potensi konflik yang lebih luas di Timur Tengah, yang dapat mengganggu pasokan minyak, diimbangi oleh kekhawatiran terhadap menurunnya permintaan global.
Menurut laporan dari Reuters, kontrak berjangka minyak Brent untuk pengiriman November, yang berakhir pada hari Senin, turun sebesar 21 sen menjadi US$71,77 per barel.
Sementara itu, kontrak Brent untuk pengiriman Desember, yang lebih banyak diperdagangkan, mengalami kenaikan 27 sen menjadi US$71,81 per barel. Brent juga tercatat mengalami penurunan 9% pada bulan September, penurunan bulanan terbesar sejak November 2022. Selama tiga bulan terakhir berturut-turut, Brent turun 17% pada kuartal ketiga, yang merupakan penurunan kuartalan terbesar dalam setahun.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) hanya mengalami penurunan sebesar 1 sen menjadi US$68,17 per barel. Patokan minyak AS ini tercatat turun 7% pada bulan September, penurunan bulanan terbesar sejak Oktober 2023, serta penurunan 16% pada kuartal ketiga, penurunan kuartalan terbesar sejak kuartal ketiga tahun lalu.
Pada hari Senin, terdapat spekulasi bahwa Iran, produsen minyak utama dan anggota OPEC, dapat terlibat langsung dalam konflik yang meluas di Timur Tengah. Konflik ini juga telah melibatkan Israel yang melakukan serangan terhadap kelompok-kelompok seperti Hezbollah dan Hamas di Lebanon, serta sasaran Houthi di Yaman, yang semuanya memiliki dukungan dari Iran.
Ekonom Matador Economics, Tim Snyder, menjelaskan bahwa pasar sedang mempertimbangkan apakah konflik di Timur Tengah akan berdampak lebih luas di kawasan tersebut. Namun, pengumuman dari Tiongkok mengenai stimulus fiskal yang diharapkan dapat mendukung ekonomi dan meningkatkan permintaan minyak, disambut dengan keraguan oleh para pelaku pasar.
Penurunan harga minyak pekan lalu juga diperparah oleh laporan bahwa Arab Saudi sedang bersiap untuk meninggalkan target harga tidak resmi sebesar US$100 per barel, serta kemungkinan peningkatan produksi minyak pada bulan Desember. Jim Ritterbusch dari Ritterbusch and Associates memperkirakan bahwa langkah Saudi untuk meningkatkan produksi akan menjadi faktor utama yang menekan pasar dalam beberapa pekan mendatang.
Sementara itu, data manufaktur Tiongkok yang menunjukkan penurunan untuk lima bulan berturut-turut, serta prospek pemulihan produksi minyak Libya, juga turut menambah tekanan pada pasar minyak dunia. Parlemen Libya telah menyetujui calon gubernur bank sentral baru, yang diharapkan dapat membantu mengakhiri krisis yang mempengaruhi produksi minyak negara tersebut.