NUSA DUA, Cobisnis.com - Arah perdagangan minyak sawit global semakin ditentukan oleh dinamika perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dan negara-negara eksportir utama.
Alvin Tai, Analyst Soft Commodities Bloomberg Intelligence, menyebut kesepakatan terbaru antara Malaysia dan Amerika Serikat menjadi tonggak penting yang berpotensi mengubah lanskap perdagangan komoditas kawasan.
"Malaysia berhasil mengamankan tarif umum 19% dan tarif nol untuk kelapa sawit, kakao, dan karet," kata Alvin Tai di gelaran IPOC 2025 yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Jumat (14/11/2025).
Sebagai imbal balik, Malaysia menyetujui serangkaian komitmen besar yakni impor semikonduktor, komponen dirgantara, dan peralatan pusat data senilai 150 miliar dolar dalam lima tahun, impor produk batu bara serta telekomunikasi senilai 204 juta dolar dalam 10 tahun, investasi modal sebesar 70 miliar dolar, hingga penghapusan hambatan ekspor untuk logam tanah jarang (rare earth mineral).
Berbeda dengan Malaysia yang sudah mengamankan tarif preferensial, Indonesia masih berada dalam tahap negosiasi intensif dengan Amerika Serikat.
Washington meminta paket kompensasi yang tidak kalah besar yakni peningkatan pembelian produk energi hingga 15 miliar dolar per tahun, produk pertanian sekitar 4,5 miliar dolar per tahun, pembelian 50 pesawat Boeing, serta penurunan tarif hingga 99% untuk produk industri, makanan, dan pertanian. Amerika Serikat juga mendorong penghapusan berbagai hambatan non-tarif untuk komoditas pertanian.
Permintaan itu berkembang dari dampak tidak langsung perang dagang AS–Tiongkok serta defisit perdagangan historis AS terhadap Indonesia. Pada 2024, AS mencatat defisit sebesar 17,8 triliun rupiah, mendorong mereka mencari skema resiprokal untuk menyeimbangkan aliran perdagangan.
Kesepakatan dagang baru berpotensi membuka keran masuknya komoditas agrikultur Amerika Serikat hingga lebih dari 4,5 miliar dolar ke pasar Indonesia, seiring penghapusan hambatan tarif dan non-tarif.
"Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri karena berisiko menekan produk pertanian domestik dan menggeser arus perdagangan minyak nabati," paparnya.
Di sisi lain, Indonesia sedang menghadapi tekanan ekonomi. Neraca pembayaran tercatat mulai bergerak negatif, sementara nilai tukar Rupiah merosot ke titik terendah sepanjang sejarah terhadap dolar Singapura, ringgit Malaysia, dan baht Thailand.
Dalam situasi rentan ini, Indonesia dituntut menyusun strategi ekspor yang agresif untuk mencegah defisit perdagangan semakin melebar. Namun, rencana implementasi biodiesel B50 perlu dihitung cermat.
Kebijakan ini berpotensi mengurangi volume ekspor sawit justru pada saat negara membutuhkan devisa tambahan dari komoditas unggulan.
Analis menilai arah negosiasi dagang Indonesia–AS akan menjadi variabel penentu.
“Kepiawaian diplomasi akan sangat menentukan apakah Indonesia mampu mengamankan tarif yang setara dengan negara lain atau justru menghadapi tekanan tambahan,” ujar Alvin Tai.
Kesepakatan yang tengah dirundingkan ini dipandang sebagai salah satu titik balik perdagangan sawit dan produk pertanian Indonesia di pasar global.