JAKARTA, Cobisnis.com - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa yang paling penting adalah mendorong perkembangan startup agar semakin meningkat bukan hanya untuk mengejar target jumlah startup unicorn di 2045.
"Paling penting startup itu kita dorong makin meningkat. Kalau unicorn itu salah satu target bukan target utama," ujarnya kepada awak media, Jumat, 20 Desember.
Menurut Airlangga jarangnya startup baru muncul saat ini, namun telah banyak pengembangan inovasi yang terjadi di dalam korporasi-korporasi, dan hal tersebut merupakan suatu proses yang berjalan secara alami.
"Ya kalau kita lihat kan banyak pengembangan di dalam korporasi-korporasi jadi ya kita lihat aja kan ini natural aja," tuturnya.
Adapun berdasarkan data Kemenko Perekonomian, jumlah startup di Indonesia pada tahun 2024 menecapai 2.651, dengan jumlah 15 startup berstatus unicorn, di antaranya Bukalapak, Ovo, Xendit, Kopi Kenangan, Akulaku hingga Ajaib, dan 2 Decacorn yaitu Goto dan J&T Express.
Adapun pemerintah menargetkan ada 61 startup unicorn alias perusahaan rintisan yang memiliki valuasi mencapai 1 miliar dolar AS atau lebih di Indonesia pada 2045.
Sementara itu dalam laporan Outlook Ekonomi Digital 2025 yang dirilis Celios, data perkembangan investasi startup digital di Indonesia dari tahun 2014 hingga 2023 menunjukkan dominasi perusahaan modal ventura dalam pendanaan sektor ini. Investasi modal ventura mencapai puncaknya pada tahun 2021 dengan nilai mencapai Rp140,5 triliun.
Namun, pada 2022 dan 2023, tren ini mengalami penurunan drastis dengan penurunan investasi mencapai 66 persen pada tahun 2023, yang dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi global dan selektivitas investor yang lebih tinggi terhadap startup yang mereka pilih untuk didanai.
Meskipun demikian, perusahaan modal ventura tetap menjadi penyumbang terbesar dalam investasi startup, mengindikasikan potensi besar sektor startup Indonesia di mata investor.
Penurunan investasi di sektor ekonomi digital Indonesia, khususnya pada startup, terutama disebabkan oleh kenaikan suku bunga acuan, Federal Reserve (The Fed), Amerika Serikat (AS).
Keadaan ini disebabkan karena apabila the Fed rate tinggi, maka investor akan cenderung berinvestasi ke surat utang AS yang lebih matang dan profitabilitas yang jelas dibandingkan investasi ke start up digital yang berisiko.
Keadaan ini membuat para investor, yang sebagian besar berasal dari luar negeri, menjadi lebih selektif dalam menyalurkan dana ke sektor startup di Indonesia. Mengingat sekitar 80 persen investasi di sektor digital berasal dari investor asing, kebijakan suku bunga AS memberikan dampak signifikan.
Selain itu, kondisi makroekonomi global yang kurang stabil juga berkontribusi pada penurunan minat investasi. Akibatnya, banyak startup di Indonesia harus melakukan efisiensi, salah satunya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk bertahan di tengah keterbatasan pendanaan. Keadaan ini menggambarkan bahwa masih adanya tech winter di Indonesia.
"Paling penting startup itu kita dorong makin meningkat. Kalau unicorn itu salah satu target bukan target utama," ujarnya kepada awak media, Jumat, 20 Desember.
Menurut Airlangga jarangnya startup baru muncul saat ini, namun telah banyak pengembangan inovasi yang terjadi di dalam korporasi-korporasi, dan hal tersebut merupakan suatu proses yang berjalan secara alami.
"Ya kalau kita lihat kan banyak pengembangan di dalam korporasi-korporasi jadi ya kita lihat aja kan ini natural aja," tuturnya.
Adapun berdasarkan data Kemenko Perekonomian, jumlah startup di Indonesia pada tahun 2024 menecapai 2.651, dengan jumlah 15 startup berstatus unicorn, di antaranya Bukalapak, Ovo, Xendit, Kopi Kenangan, Akulaku hingga Ajaib, dan 2 Decacorn yaitu Goto dan J&T Express.
Adapun pemerintah menargetkan ada 61 startup unicorn alias perusahaan rintisan yang memiliki valuasi mencapai 1 miliar dolar AS atau lebih di Indonesia pada 2045.
Sementara itu dalam laporan Outlook Ekonomi Digital 2025 yang dirilis Celios, data perkembangan investasi startup digital di Indonesia dari tahun 2014 hingga 2023 menunjukkan dominasi perusahaan modal ventura dalam pendanaan sektor ini. Investasi modal ventura mencapai puncaknya pada tahun 2021 dengan nilai mencapai Rp140,5 triliun.
Namun, pada 2022 dan 2023, tren ini mengalami penurunan drastis dengan penurunan investasi mencapai 66 persen pada tahun 2023, yang dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi global dan selektivitas investor yang lebih tinggi terhadap startup yang mereka pilih untuk didanai.
Meskipun demikian, perusahaan modal ventura tetap menjadi penyumbang terbesar dalam investasi startup, mengindikasikan potensi besar sektor startup Indonesia di mata investor.
Penurunan investasi di sektor ekonomi digital Indonesia, khususnya pada startup, terutama disebabkan oleh kenaikan suku bunga acuan, Federal Reserve (The Fed), Amerika Serikat (AS).
Keadaan ini disebabkan karena apabila the Fed rate tinggi, maka investor akan cenderung berinvestasi ke surat utang AS yang lebih matang dan profitabilitas yang jelas dibandingkan investasi ke start up digital yang berisiko.
Keadaan ini membuat para investor, yang sebagian besar berasal dari luar negeri, menjadi lebih selektif dalam menyalurkan dana ke sektor startup di Indonesia. Mengingat sekitar 80 persen investasi di sektor digital berasal dari investor asing, kebijakan suku bunga AS memberikan dampak signifikan.
Selain itu, kondisi makroekonomi global yang kurang stabil juga berkontribusi pada penurunan minat investasi. Akibatnya, banyak startup di Indonesia harus melakukan efisiensi, salah satunya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk bertahan di tengah keterbatasan pendanaan. Keadaan ini menggambarkan bahwa masih adanya tech winter di Indonesia.