JAKARTA, COBISNIS.COM - Aktivitas penambangan emas ilegal yang dilakukan oleh warga negara asing (WNA) asal China berinisial YH di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, menyebabkan kerugian besar bagi negara. Berdasarkan informasi dari laman resmi Kementerian ESDM yang dirilis pada Minggu (29/9/2024), kerugian negara yang diakibatkan oleh kegiatan tambang ilegal ini mencapai Rp 1,020 triliun. Angka tersebut berasal dari hilangnya cadangan emas sebanyak 774,27 kg serta perak sebesar 937,7 kg.
Modus operandi yang digunakan oleh para pelaku melibatkan tenaga kerja asing (TKA) China yang memanfaatkan terowongan tambang dalam (tunnel) milik dua perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), yakni PT BRT dan PT SPM. Kedua perusahaan tersebut masih dalam masa pemeliharaan karena belum mendapatkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk produksi tahun 2024-2026. Namun, alih-alih menjalankan pemeliharaan, komplotan ini justru melakukan pembongkaran menggunakan bahan peledak guna mengekstraksi emas dari lokasi tambang.
Selanjutnya, bijih emas yang berhasil mereka peroleh diolah dan dimurnikan di dalam tunnel tersebut, dan hasilnya dibawa keluar dalam bentuk dore atau bullion emas. Kegiatan ini dipimpin oleh tersangka YH yang bertanggung jawab atas seluruh operasi di dalam tunnel. Ia dibantu oleh lebih dari 80 TKA asal China serta sejumlah warga lokal yang mendukung pekerjaan non-teknis seperti pemompaan, kebersihan, dan katering.
Tersangka YH tidak memiliki Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP), yang merupakan syarat untuk beroperasi sebagai kontraktor di wilayah IUP sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, sebagian besar TKA yang bekerja di lokasi tambang tidak memiliki visa kerja yang sah. Di area tambang, ditemukan berbagai alat bukti yang terkait dengan pengolahan dan pemurnian emas, seperti pemecah batu (grinder), tungku induksi, cetakan bullion grafit, dan bahan kimia penangkap emas.
Menurut laporan dari Harian Kompas pada 12 Mei 2024, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Sunindyo Suryo Herdadi, menjelaskan bahwa YH adalah tersangka utama dalam kasus ini. Ia menegaskan bahwa kegiatan penambangan ilegal tersebut dilakukan di wilayah IUP yang masih dalam masa pemeliharaan dan tidak ada hubungan langsung antara YH dengan perusahaan pemegang IUP di wilayah tersebut.
Sunindyo juga mengungkapkan bahwa volume batuan bijih emas yang diambil dari tambang ilegal ini mencapai 2.687,4 m³. Dari uji sampel yang dilakukan, kandungan emas di lokasi tersebut cukup tinggi, dengan hasil sampel batuan mencapai 136 gram/ton dan sampel batu yang tergiling memiliki kandungan emas sebesar 337 gram/ton. Fakta di pengadilan juga menunjukkan bahwa merkuri atau air raksa (Hg) digunakan dalam proses pemisahan bijih emas dari mineral lain, dengan kadar merkuri dalam sampel olahan mencapai 41,35 mg/kg.
Modus operandi yang digunakan oleh para pelaku melibatkan tenaga kerja asing (TKA) China yang memanfaatkan terowongan tambang dalam (tunnel) milik dua perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), yakni PT BRT dan PT SPM. Kedua perusahaan tersebut masih dalam masa pemeliharaan karena belum mendapatkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk produksi tahun 2024-2026. Namun, alih-alih menjalankan pemeliharaan, komplotan ini justru melakukan pembongkaran menggunakan bahan peledak guna mengekstraksi emas dari lokasi tambang.
Selanjutnya, bijih emas yang berhasil mereka peroleh diolah dan dimurnikan di dalam tunnel tersebut, dan hasilnya dibawa keluar dalam bentuk dore atau bullion emas. Kegiatan ini dipimpin oleh tersangka YH yang bertanggung jawab atas seluruh operasi di dalam tunnel. Ia dibantu oleh lebih dari 80 TKA asal China serta sejumlah warga lokal yang mendukung pekerjaan non-teknis seperti pemompaan, kebersihan, dan katering.
Tersangka YH tidak memiliki Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP), yang merupakan syarat untuk beroperasi sebagai kontraktor di wilayah IUP sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, sebagian besar TKA yang bekerja di lokasi tambang tidak memiliki visa kerja yang sah. Di area tambang, ditemukan berbagai alat bukti yang terkait dengan pengolahan dan pemurnian emas, seperti pemecah batu (grinder), tungku induksi, cetakan bullion grafit, dan bahan kimia penangkap emas.
Menurut laporan dari Harian Kompas pada 12 Mei 2024, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Sunindyo Suryo Herdadi, menjelaskan bahwa YH adalah tersangka utama dalam kasus ini. Ia menegaskan bahwa kegiatan penambangan ilegal tersebut dilakukan di wilayah IUP yang masih dalam masa pemeliharaan dan tidak ada hubungan langsung antara YH dengan perusahaan pemegang IUP di wilayah tersebut.
Sunindyo juga mengungkapkan bahwa volume batuan bijih emas yang diambil dari tambang ilegal ini mencapai 2.687,4 m³. Dari uji sampel yang dilakukan, kandungan emas di lokasi tersebut cukup tinggi, dengan hasil sampel batuan mencapai 136 gram/ton dan sampel batu yang tergiling memiliki kandungan emas sebesar 337 gram/ton. Fakta di pengadilan juga menunjukkan bahwa merkuri atau air raksa (Hg) digunakan dalam proses pemisahan bijih emas dari mineral lain, dengan kadar merkuri dalam sampel olahan mencapai 41,35 mg/kg.