JAKARTA, Cobisnis.com – Harga makanan di Yogyakarta yang dikenal murah bukan sekadar strategi dagang atau kebetulan pasar. Kondisi ini terbentuk melalui proses sosial dan sejarah panjang yang melekat pada identitas kota tersebut.
Sejak era 1950-an, Yogyakarta berkembang sebagai salah satu pusat pendidikan utama di Indonesia. Ribuan mahasiswa dari berbagai daerah datang dan menetap, menciptakan kebutuhan akan makanan yang terjangkau dan mudah diakses setiap hari.
Situasi ini mendorong tumbuhnya warung makan sederhana di sekitar kampus dan kawasan permukiman. Pelaku usaha menyesuaikan harga dengan daya beli mahasiswa, bukan untuk keuntungan besar, tetapi demi keberlangsungan usaha jangka panjang.
Selain faktor pendidikan, budaya hidup sederhana masyarakat Jawa juga berperan besar. Nilai ini mengakar kuat dalam kehidupan sosial Yogyakarta, termasuk dalam cara berdagang dan menetapkan harga makanan.
Lingkungan Keraton Yogyakarta turut membentuk pola ekonomi yang tidak berorientasi pada eksploitasi keuntungan. Banyak pelaku usaha kecil memilih menjaga harga stabil sebagai bentuk etika sosial dan keberlanjutan.
Warung-warung legendaris yang bertahan puluhan tahun menjadi bukti nyata pola ini. Resep turun-temurun dan harga terjangkau dipertahankan sebagai bagian dari identitas, bukan sekadar daya tarik komersial.
Hingga kini, makanan dengan harga belasan ribu rupiah masih mudah ditemukan, bahkan di kawasan wisata. Fenomena ini menunjukkan bahwa tekanan pariwisata tidak sepenuhnya mengubah struktur ekonomi lokal.
Secara ekonomi, harga makanan murah membantu menjaga perputaran uang di sektor usaha kecil. Warung rakyat tetap hidup, sementara masyarakat dan wisatawan mendapat akses konsumsi yang ramah di kantong.
Dari sisi sosial, kondisi ini memperkuat citra Jogja sebagai kota yang inklusif. Semua lapisan masyarakat dapat menikmati kuliner tanpa batasan ekonomi yang tajam.
Murahnya harga makanan di Yogyakarta akhirnya menjadi cerminan sejarah, budaya, dan pilihan sosial yang terus dipertahankan hingga hari ini.