JAKARTA, Cobisnis.com – Apple diketahui hanya mengeluarkan biaya sekitar Rp9 juta untuk memproduksi satu unit iPhone terbaru, jauh lebih rendah dari harga jual resminya yang bisa mencapai Rp19 juta di pasaran. Strategi harga tinggi ini bukan tanpa alasan, melainkan bagian dari model bisnis yang telah membuat Apple jadi raksasa teknologi dunia.
Biaya produksi atau bill of materials (BOM) untuk iPhone 15 Pro Max misalnya, diperkirakan sekitar US$560 atau setara Rp9 juta. Angka itu hanya mencakup komponen, perakitan, dan pengemasan, belum termasuk riset, pemasaran, hingga biaya operasional global.
Jika dijual dengan harga resmi US$1.199 atau sekitar Rp19 juta, artinya margin kotor Apple bisa mencapai hampir tiga kali lipat dari ongkos produksinya. Meski begitu, keuntungan ini tidak sepenuhnya bersih karena sebagian besar digunakan untuk menutupi biaya riset, desain, dan inovasi berkelanjutan.
Apple dikenal sangat ketat dalam menjaga kualitas dan pengalaman pengguna. Mereka menggabungkan hardware, software, dan layanan digital dalam satu ekosistem tertutup, sehingga pengguna cenderung sulit beralih ke merek lain. Inilah salah satu sumber loyalitas yang membuat margin mereka tetap tinggi.
Selain itu, Apple sangat kuat dalam membangun citra eksklusif dan rasa percaya diri di antara konsumennya. iPhone dianggap bukan sekadar alat komunikasi, tapi simbol status dan gaya hidup modern. Aspek ini membuat harga tinggi terasa wajar bagi sebagian besar pengguna.
Dari sisi bisnis, margin keuntungan Apple di lini iPhone mencapai sekitar 45–50 persen, jauh di atas rata-rata produsen ponsel lain yang hanya berkisar 20–25 persen. Keunggulan ini menegaskan kemampuan Apple mengubah produk teknologi menjadi komoditas bergengsi.
Strategi “value perception” atau persepsi nilai jadi kunci utama. Apple tidak menjual spesifikasi semata, tapi menjual pengalaman dan prestise. Desain elegan, performa konsisten, serta layanan purna jual yang terintegrasi menjadikan iPhone lebih dari sekadar perangkat elektronik.
Selain itu, nilai jual kembali iPhone yang tetap tinggi di pasar bekas turut memperkuat keyakinan konsumen bahwa membeli iPhone adalah investasi yang relatif aman. Hal ini memperbesar daya tarik meski harga awalnya jauh lebih mahal dibanding kompetitor.
Bahkan ketika menghadapi tekanan inflasi global dan kenaikan biaya bahan baku, Apple tetap mempertahankan strategi harga premiumnya. Konsumen loyal rela membayar lebih karena yakin dengan konsistensi kualitas yang ditawarkan.
Pada akhirnya, Apple berhasil menciptakan formula bisnis yang jarang gagal: biaya produksi rendah, margin tinggi, dan konsumen yang justru bangga membayar mahal. Bagi Apple, harga bukan soal angka, tapi soal nilai dan kepercayaan terhadap merek yang sudah melegenda.