Jamkrindo

Belanja Pakai Paylater Memang Enak, Tapi Dompet Bisa Nangis Belakangan

Oleh M.Dhayfan Al-ghiffari pada 17 Oct 2025, 09:23 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Gaya hidup pakai paylater kini bukan hal asing lagi. Dari beli kopi sampai gadget baru, semua bisa dicicil dengan sekali klik. Praktis dan cepat, inilah yang bikin banyak orang, terutama anak muda, jadi langganan layanan ini.

Tren paylater terus tumbuh pesat di Indonesia. Data Asosiasi Fintech Indonesia mencatat nilai transaksinya menembus Rp35 triliun pada pertengahan 2025. Angka ini menandakan makin banyak masyarakat yang memilih “bayar nanti” daripada “bayar sekarang”.

Di satu sisi, sistem ini memang memudahkan. Belanja jadi fleksibel, dan daya beli masyarakat bisa tetap terjaga meski kondisi ekonomi sedang seret. Tapi di sisi lain, kalau nggak hati-hati, bisa bikin keuangan pribadi berantakan.

Banyak pengguna tergoda cicilan ringan tanpa menghitung kemampuan bayar tiap bulan. Akibatnya, tagihan menumpuk, dan bukan nggak mungkin bikin stres di akhir periode pembayaran.

Secara ekonomi, paylater memang ikut menggerakkan roda konsumsi nasional. Namun, kalau utang konsumtif terus naik, daya tahan finansial rumah tangga bisa melemah. Ini bisa berdampak ke sektor lain, mulai dari tabungan, investasi, sampai konsumsi jangka panjang.

Ekonom menilai, gaya hidup paylater sebenarnya bukan masalah kalau digunakan dengan bijak. Selama porsi cicilan masih di bawah 30% dari penghasilan, kondisi keuangan relatif aman.

Pemerintah dan otoritas keuangan juga mulai memperketat aturan main. Mulai dari bunga, biaya layanan, sampai transparansi tagihan, semuanya diawasi agar pengguna nggak dirugikan.

Fenomena ini jadi pengingat bahwa kemudahan digital tetap butuh kontrol diri. Karena meski transaksi makin canggih, prinsipnya tetap sama: jangan beli sesuatu yang belum bisa dibayar.

Di era serba cepat ini, paylater sudah jadi bagian dari gaya hidup modern. Tapi bijak memakainya adalah kunci supaya tetap nyaman tanpa bikin dompet tercekik di akhir bulan.