Jamkrindo

Google Didenda Uni Eropa Rp53 Triliun, Trump Ancam Balas

Oleh Zahra Zahwa pada 08 Sep 2025, 14:40 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com - Presiden Amerika Serikat Donald Trump menolak keras keputusan Komisi Eropa yang menjatuhkan denda €2,95 miliar (sekitar Rp53 triliun) kepada Google. Denda ini dijatuhkan karena Google dianggap menyalahgunakan dominasinya di industri iklan digital.



Lewat unggahan di Truth Social, Trump menyebut keputusan itu tidak adil dan diskriminatif terhadap perusahaan Amerika. Ia bahkan menegaskan siap menggunakan Section 301 dari Undang-Undang Perdagangan AS 1974 untuk membatalkan penalti tersebut. Aturan ini memungkinkan Washington memberi sanksi balasan kepada negara asing yang merugikan perdagangan AS. Trump juga menyatakan akan berbicara langsung dengan Uni Eropa terkait persoalan ini.



Di sisi lain, Komisi Eropa menjelaskan hasil investigasi menunjukkan Google memanfaatkan kekuatannya dengan mengutamakan platform iklan milik sendiri, yaitu AdX exchange dan DFP ad platform. Praktik ini dinilai merugikan pesaing, penerbit, dan pengiklan. Sejak 2017, ini sudah menjadi kali keempat Google dijatuhi denda antitrust bernilai miliaran euro oleh Brussel.



Meski nilainya besar, sejumlah pengamat menilai denda tersebut hanya “uang kecil” dibanding pendapatan Google yang mencapai €24 miliar pada kuartal II-2025. Google sendiri menolak putusan itu, menyebutnya “keliru,” dan berencana mengajukan banding. Perusahaan diberi waktu 60 hari untuk mencari solusi, namun pejabat Eropa menilai pemisahan sebagian bisnis iklan bisa menjadi opsi paling efektif.



Tekanan juga datang dari European Publishers Council (EPC) yang menilai denda tidak cukup menghentikan monopoli Google. Mereka mendesak agar Google dipaksa menjual unit bisnis iklannya. Sejumlah pejabat Eropa mendukung gagasan ini, dengan alasan sanksi denda di masa lalu terbukti tidak efektif.



Kasus ini pun menambah ketegangan hubungan dagang antara AS dan Uni Eropa, yang sebelumnya sudah sering berselisih terkait tarif, perdagangan, dan regulasi teknologi. Sementara itu, Google juga tengah menghadapi masalah hukum serupa di AS, setelah hakim federal menyatakan perusahaan memiliki monopoli ilegal di layanan pencarian online. Namun, pengadilan menolak permintaan pemerintah untuk memaksa penjualan browser Chrome.