JAKARTA, Cobisnis.com – China kembali jadi sorotan dunia karena kemampuan industrinya yang bisa membangun pabrik dalam tempo sangat cepat. Dalam hitungan bulan, bahkan minggu, fasilitas produksi baru bisa langsung beroperasi dan menyerap ribuan tenaga kerja.
Kecepatan ini bukan terjadi begitu saja. Pemerintah China sejak lama menyiapkan kawasan industri terpadu lengkap dengan listrik, air, jalan, hingga pelabuhan. Investor tinggal masuk, bangun, dan langsung produksi tanpa hambatan panjang.
Di sisi lain, Indonesia masih menghadapi proses pembangunan pabrik yang lebih bertahap. Perizinan memang terus dipangkas lewat sistem digital OSS, namun di lapangan pelaksanaannya belum sepenuhnya seragam di semua daerah.
Selain izin, perbedaan besar juga terletak pada biaya energi. Listrik industri di China dikenal jauh lebih murah, sehingga biaya produksi bisa ditekan sejak awal. Hal ini menjadi daya tarik utama bagi perusahaan global.
China juga memberikan insentif pajak besar untuk investor baru, terutama di sektor teknologi, otomotif listrik, dan manufaktur berat. Potongan pajak ini membuat balik modal jadi jauh lebih cepat.
Dari sisi tenaga kerja, China memiliki pasokan buruh dalam jumlah sangat besar dengan upah yang masih relatif kompetitif untuk skala industri global. Hal ini membuat perusahaan tidak kesulitan melakukan ekspansi massal.
Sementara di Indonesia, tantangan ada pada keterbatasan infrastruktur di luar Pulau Jawa. Kawasan industri memang tumbuh, tetapi belum semuanya terhubung langsung dengan pelabuhan besar dan jalur logistik cepat.
Data menunjukkan nilai investasi manufaktur China pada 2024 menembus lebih dari USD 4 triliun, sementara Indonesia masih berada di bawah USD 150 miliar. Selisih ini menunjukkan betapa besarnya skala industri China dibanding Tanah Air.
Meski begitu, Indonesia memiliki keunggulan pada stabilitas politik, bonus demografi, dan pasar domestik yang besar. Hal ini menjadi modal penting untuk menarik investasi jangka panjang.
Pemerintah juga terus mendorong hilirisasi industri, terutama di sektor nikel, baterai, dan kendaraan listrik. Strategi ini diharapkan bisa mempercepat pembangunan pabrik bernilai tambah tinggi.
Perbedaan kecepatan antara China dan Indonesia pada akhirnya menunjukkan dua model pembangunan yang berbeda. China mengandalkan percepatan ekstrem, sementara Indonesia bergerak lebih hati-hati dengan fokus pada keberlanjutan.
Ke depan, tantangan terbesar Indonesia adalah memastikan reformasi perizinan, infrastruktur, dan energi berjalan konsisten agar jarak dengan China tidak semakin melebar di sektor manufaktur global.