JAKARTA, Cobisnis.com – Girl group K-pop QWER kembali memicu perdebatan soal batas antara legalitas dan etika di dunia fandom setelah merilis light stick resmi mereka yang disebut-sebut mirip dengan milik boy group The Boyz.
Kontroversi bermula saat QWER memperkenalkan light stick berbentuk megafon sebagai bagian dari merchandise tur dunia debut mereka. Fans The Boyz langsung memprotes karena desain tersebut dianggap terlalu mirip dengan “The B Bong” milik The Boyz yang sudah dirilis sejak 2021. Meski ada perbedaan kecil — milik The Boyz memiliki bagian depan berbentuk hati, sementara QWER berbentuk lingkaran — banyak yang menilai siluet dan konsep keduanya sangat serupa.
Menanggapi hal itu, agensi The Boyz, IST Entertainment, mengaku menyesalkan kemiripan tersebut dan meminta pihak QWER untuk mengganti desain. Namun, agensi QWER, 3 Y Corp–Prismfilter, menolak tudingan itu. Mereka menegaskan desain telah melalui peninjauan hukum dan tidak melanggar hak cipta maupun desain industri, serta menilai megafon merupakan simbol umum yang tidak dimiliki pihak mana pun.
Perselisihan ini kemudian berkembang menjadi perang antar-fandom di media sosial. QWER bahkan mengumumkan rencana mengambil tindakan hukum terhadap unggahan yang dianggap bernada fitnah. Langkah ini justru memperkeruh situasi, terlebih setelah salah satu member, Siyeon, secara pribadi menyampaikan kekesalannya terhadap komentar warganet.
Asosiasi Produser Hiburan Korea (KEPA) akhirnya turun tangan untuk memediasi sebelum masalah ini dibawa ke ranah hukum. Dalam pernyataannya, KEPA mengingatkan bahwa jika kedua pihak hanya fokus pada sisi legal, industri K-pop bisa kehilangan nilai kreativitas, rasa saling menghormati antar-fandom, dan kepercayaan pasar global.
Meski begitu, QWER tetap melanjutkan penjualan light stick mereka dalam konser tur dunia pertama “Rockation” pada 3–5 Oktober, menandakan penolakan terhadap permintaan perubahan desain.
Banyak pengamat menilai bahwa meskipun QWER mungkin tidak melanggar hukum, tindakan mereka menyentuh ranah etika tak tertulis yang selama ini menjaga keharmonisan dalam budaya K-pop. Sejak era warna fandom di awal 2000-an hingga desain merchandise masa kini, rasa saling menghormati antar-artis dan penggemar selalu menjadi dasar utama, bukan sekadar urusan hukum.
Seorang sumber industri menuturkan, “Mungkin tidak ilegal, tapi K-pop tumbuh karena empati. Memahami perasaan penggemar adalah hal yang membuat budaya ini hidup.”