Mahfud menanggapi kabar soal pelaporan lima orang oleh Jokowi ke Polda Metro Jaya pada 30 April 2025 lalu. Laporan itu dilakukan karena kelima pihak tersebut diduga menyebarkan tudingan palsu soal keabsahan ijazah Jokowi.
Menurut Mahfud, apabila dugaan tersebut benar dan mengandung unsur pemalsuan, maka ranahnya tetap berada di wilayah hukum pidana. Namun, ia menegaskan bahwa persoalan hukum pidana tidak serta-merta membatalkan legitimasi konstitusional seorang presiden.
Ia mengatakan bahwa dalam konteks hukum publik, pemalsuan dokumen memang bisa diproses sebagai tindak pidana. Namun, Mahfud menegaskan bahwa hal itu tidak berpengaruh terhadap aspek hukum tata negara secara keseluruhan.
Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan bahwa validitas ijazah Jokowi tidak akan mengubah apapun terkait keabsahan berbagai kebijakan dan keputusan negara yang telah diambil selama masa pemerintahannya.
Ia menyebut bahwa apakah ijazah tersebut asli atau tidak, bukan menjadi faktor yang menentukan sah atau tidaknya tindakan konstitusional seorang kepala negara.
Menurutnya, dalam kerangka hukum administrasi negara, keputusan-keputusan yang telah ditandatangani presiden memiliki kekuatan hukum yang mengikat, selama dijalankan sesuai prosedur dan tidak dibatalkan oleh lembaga yang berwenang.
Mahfud menambahkan bahwa sistem hukum di Indonesia menjamin kepastian hukum terhadap kebijakan yang telah sah diberlakukan, bahkan jika kemudian muncul kontroversi atas dokumen pribadi pejabat negara.
Dalam pandangannya, membatalkan semua keputusan seorang presiden hanya karena persoalan ijazah akan menimbulkan dampak sistemik yang luas dan membahayakan kestabilan negara.
Ia pun menggambarkan kemungkinan kekacauan apabila hal tersebut dijadikan dasar untuk menggugurkan keabsahan kebijakan, mulai dari pengangkatan menteri hingga kerja sama internasional.
Mahfud menyebut bahwa pendekatan seperti itu justru bisa menciptakan preseden buruk dalam sistem pemerintahan, karena seluruh struktur bisa terguncang hanya karena satu dokumen administratif.
Dengan nada tegas, Mahfud menyampaikan bahwa negara tidak bisa dibubarkan hanya karena polemik ijazah, selama sistem ketatanegaraan dijalankan sesuai mekanisme yang berlaku.
Ia juga mengingatkan bahwa hukum tata negara lebih menekankan pada legalitas proses dan wewenang, bukan pada keabsahan dokumen pribadi semata.
Bagi Mahfud, yang lebih penting adalah menjaga keberlanjutan pemerintahan dan sistem hukum yang sudah dibangun, bukan mengobarkan wacana yang berpotensi merusak tatanan konstitusional.