Jamkrindo

Maroko Dikecam: Stadion Megah Dibangun, Warga Korban Gempa Masih Hidup di Seng

Oleh Zahra Zahwa pada 16 Sep 2025, 05:39 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Saat hujan turun di Pegunungan Atlas, Maroko awal bulan ini, Lahcen Abarda, 72 tahun, buru-buru memperbaiki terpal tenda tempat tinggalnya selama dua tahun terakhir.

Abarda, korban gempa yang terjadi pada 2023 menewaskan hampir 3.000 orang, mengatakan ia terus memperbaiki tenda akibat kerusakan karena sengatan matahari dan angin sambil menunggu bantuan yang dijanjikan untuk membangun rumah baru.

“Saya hidup di tenda plastik sejak rumah saya hancur,” kata Abarda, seorang petani yang tinggal bersama dua putrinya. “Setiap saya bertanya, mereka bilang nanti akan dapat bantuan.”

Investasi Stadion untuk Piala Dunia 2030

Dua tahun setelah gempa 6,8 magnitudo itu, korban frustrasi dengan lambatnya pemulihan, sementara pemerintah Maroko bergerak cepat membangun stadion dan infrastruktur menjelang Piala Afrika Desember ini dan Piala Dunia 2030.

Pada pekan lalu, puluhan korban berdemonstrasi di depan parlemen di Rabat, menyerukan agar pemerintah memperhatikan bantuan rekonstruksi seperti halnya proyek Piala Dunia. Mereka membawa spanduk berisi nama desa yang hancur dan meneriakkan slogan, “Uang gempa, kemana perginya? Ke festival dan stadion.”

“Kami senang melihat stadion, teater, dan jalan raya dibangun. Tapi ada Maroko yang terpinggirkan dan terlupakan,” kata Montasir Itri, pemimpin kelompok pendukung korban gempa.

Pemerintah telah mengeluarkan 4,6 miliar dirham Maroko ($510 juta) untuk bantuan rumah korban gempa hingga September, memberikan 140.000 dirham untuk rumah yang hancur total dan 80.000 untuk rumah rusak sebagian. Sebagai perbandingan, lebih dari 20 miliar dirham dialokasikan untuk persiapan stadion.

Secara keseluruhan, sentimen terkait persiapan Piala Dunia di Maroko tetap positif, yang diyakini pemerintah akan meningkatkan profil negara serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.

Pejabat Maroko membantah memprioritaskan Piala Dunia dibanding pemulihan gempa, dan Perdana Menteri Aziz Akhannouch memuji kecepatan rekonstruksi.

“Tidak banyak tenda tersisa,” kata Akhannouch di TV pemerintah, sambil menjanjikan penanganan kasus sisa secara individu.

Maroko "Dua Kecepatan"

Tenda yang dibongkar berjajar di jalan menuju desa Sellamte, yang parah terkena gempa. Banyak mantan penghuni tenda kini menempati rumah beton hasil bantuan rekonstruksi.

Menurut data pemerintah, dari 59.675 rumah yang rusak, 51.154 telah dibangun kembali. Otoritas lokal Al Haouz menyebut hanya 4% rumah yang belum mulai dibangun, dan semua tenda telah dibongkar.

Namun kelompok Itri membantah angka tersebut, mengatakan banyak korban masih tinggal di tenda, dan bahkan yang mendapat rumah baru, bantuan tidak cukup.

Pekerja konstruksi Mohamed Ait Batt mengatakan ia hanya menerima 80.000 dirham untuk memperbaiki rumah yang rusak sebagian, kemudian diminta pindah ke area baru tanpa bantuan yang cukup.

“Kami merencanakan pernikahan anak saya, tapi uang yang diterima tidak cukup untuk membangun. Kami pakai semua tabungan, dan masih banyak yang harus dilakukan,” kata dia di rumah yang belum selesai ia tempati bersama istri dan anaknya.

Di desa Anerni, rumah bata satu lantai baru dengan fasad seragam telah menggantikan keragaman rumah tradisional orang Amazigh. Di sampingnya berdiri barisan tempat tinggal darurat dari seng.

Di salah satunya, Aicha Ait Addi duduk di tikar plastik sambil menyeduh teh. “Rumah saya hancur total. Saat mengeluh, mereka bilang saya tidak tinggal di sini. Tapi saya punya rumah di sini. Apakah mereka ingin saya meninggalkan desa saya?” katanya.

Standar hidup yang lebih baik telah menurunkan angka kemiskinan dari 11,9% pada 2014 menjadi 6,8% pada 2024. Namun, wilayah pedesaan masih menunjukkan kemiskinan di atas rata-rata. Raja Mohammed VI mengakui kesenjangan ini, dan dalam pidato Juli lalu mengatakan “Tidak bisa diterima Maroko menjadi negara dua kecepatan, sekarang atau nanti,” sambil mendorong reformasi untuk mengatasi kemiskinan pedesaan.