Bagus Ardeni
(Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah)
Program Koperasi Desa Merah Putih, yang diwacanakan akan diluncurkan pada Oktober 2025, dapat dibaca sebagai angin segar dalam upaya menjawab ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah. Secara bersamaan, ia juga merepresentasikan kehendak untuk menghidupkan kembali peran desa sebagai unit ekonomi yang mandiri dan berdaya.
Dengan target ambisius membentuk sekitar 80.000 koperasi desa serta menyertakan skema pembiayaan sebesar Rp3–5 miliar per unit, program ini tampak menjanjikan di atas kertas. Namun di balik angka-angka impresif dan jargon pemberdayaan, muncul pertanyaan mendasar: apakah desa benar-benar siap menjadi episentrum ekonomi baru? Dan lebih jauh, apakah negara sungguh-sungguh mendengar suara desa?
Koperasi dan Perdebatannya
Secara historis, koperasi bukanlah entitas asing dalam lanskap ekonomi Indonesia. Dumairy dan Tarli Nugroho, dalam Ekonomi Pancasila: Warisan Pemikiran Mubyarto (2016), menjelaskan bahwa Mubyarto pernah menggalakkankoperasi sebagai perwujudan etos ekonomi kerakyatan dalam kerangka ekonomi Pancasila. Dalam pandangan Mubyarto, koperasi tidak hanya berfungsi sebagai entitas ekonomi yang mengejar efisiensi, melainkan sebagai instrumen sosial untuk membangun keadilan dan solidaritas di tengah masyarakat, khususnya di tingkat akar rumput. Hal ini tercermin, misalnya, dalam program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang menekankan prinsip kekeluargaan dan gotong royong—nilai-nilai yang secara inheren melekat pada model koperasi dan selaras dengan tradisi kolektif masyarakat desa.
Meskipun dalam konteks tertentu koperasi dapat dianggap sebagai solusi efektif pada masanya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa implementasinya kerap terjebak dalam kerangka administratif yang dangkal. Jika dikontekstualisasikan pada kondisi saat ini, Hans Antlöv dan Anna Wetterberg (2011), misalnya, mencatat bahwa proses desentralisasi di Indonesia belum sepenuhnya menghasilkan partisipasi yang substantif. Sebaliknya, desentralisasi justru kerap membuka ruang bagi dominasi baru oleh elit lokal, yang pada akhirnya menghambat penguatan kelembagaan serta mengurangi efektivitas tata kelola di tingkat desa.
Dalam konteks Koperasi Merah Putih, Kementerian Koperasi dan UKM menegaskan bahwa koperasi ini dirancang sebagai respons terhadap maraknya praktik rentenir dan pinjaman online ilegal yang menjerat warga desa dalam siklus utang. Di sini, koperasi diposisikan sebagai instrumen perlindungan ekonomi masyarakat kecil. Gagasan ini mengingatkan pada pandangan Hernando de Soto (2000) dalam The Mystery of Capital, yang menilai betapa pentingnya pengakuan legal terhadap aset dan aktivitas ekonomi informal sebagai dasar bagi perluasan akses terhadap modal. Artinya, jika koperasi mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip ini, maka perannya tidak hanya sebatas penyedia pinjaman, melainkan sebagai fondasi sistem ekonomi alternatif berbasis solidaritas sosial.
Namun, skema pembiayaan besar melalui dana desa yang disalurkan dalam bentuk pinjaman bergulir hingga Rp3-5 miliar per koperasi menghadirkan risiko yang tidak kecil. Ketika koperasi dibentuk secara top-down—seperti yang terjadi dalam pengalaman Koperasi Unit Desa (KUD)—tanpa kesiapan kelembagaan dan budaya tata kelola yang sehat, potensi moral hazard akan sulit dihindari. Minimnya kapasitas pengawasan internal di tingkat desa, ditambah dengan lemahnya akuntabilitas, sering kali membuka ruang bagi penyimpangan penggunaan dana. Dalam banyak kasus, pengelolaan dana publik di desa masih dibayangi oleh pola relasi patronase serta keputusan yang lebih mencerminkan kepentingan elit lokal ketimbang kebutuhan kolektif warga.
Kekhawatiran tersebut bukanlah asumsi belaka. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2020 menunjukkan bahwa hampir 60% kasus korupsi dana desa melibatkan kepala desa dan perangkatnya (Kompas, 11/3/2025). Kondisi demikian menjadi gambaran lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas yang masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam tata kelola desa. Dalam situasi seperti ini, program koperasi desa dapat dengan mudah mengalami nasib serupa dengan berbagai program ekonomi lain yang gagal karena terlalu tergesa dan tidak kontekstual.
Keberadaan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), seperti turut disampaikan Zulkifli Hasan, Menteri Koordinator Bidang Pangan, juga menjadi faktor penting yang harus diperhitungkan. Beberapa studi, seperti yang dilakukan oleh Sofyani, et al., (2019) menunjukkan bahwa BUMDes dapat menjadi motor ekonomi lokal yang efektif bila dikelola secara partisipatif dan berbasis pada potensi desa. Maka dari itu, hal ini juga mengandaikan bahwa jika Koperasi Merah Putih tidak didesain secara sinergis dan komplementer dengan BUMDes, bukan tidak mungkin keduanya akan saling berbenturan secara struktural maupun fungsional, yang pada giliranny menimbulkan kebingungan di tingkat operasional.
Jika merujuk pada praktik internasional, negara seperti Jepang dan Korea Selatan menunjukkan bahwa proses menjalankan koperasi perlu ditopang oleh tata kelola yang demokratis, akuntabel, serta berorientasi pada kebutuhan anggota. Seperti dicatat Johnston Birchall (2003), kekuatan koperasi terletak pada partisipasi aktif anggota dan dukungan institusional yang konsisten. Di Jepang, koperasi pertanian berkembang berkat kebijakan yang mendukung dan kultur kerja sama antar petani, sementara di Korea Selatan, penguatan koperasi ditopang oleh investasi dalam pendidikan anggota. Corak seperti inilah yang patut ditiru oleh negara kita.
Kita juga dapat belajar dari kegagalan masa lalu, terutama pada era Orde Baru saat Koperasi Unit Desa (KUD) difungsikan sebagai instrumen distribusi kebijakan, terutama pupuk dan kredit pertanian. Ketika sistem politik berubah, KUD kehilangan legitimasi karena tidak tumbuh dari bawah dan tidak memiliki akar di komunitas. Ini menguatkan tesis James C. Scott dalam Seeing Like a State (1998), bahwa proyek pembangunan yang terlalu terpusat cenderung gagal karena mengabaikan kompleksitas lokal dan kapasitas aktor-aktor di dalamnya.
Menempatkan Warga sebagai Aktor
Agar Koperasi Merah Putih tidak terjebak pada jebakan serupa, pendekatan yang digunakan haruslah berbasis partisipasi dan pembelajaran sosial. Warga desa perlu ditempatkan sebagai aktor pembangunan, bukan sekadar penerima program. Visi koperasi harus dirumuskan bersama, yaitu dengan membuka ruang deliberatif di mana warga dapat merancang bentuk usaha, sistem pengelolaan, dan mekanisme pertanggungjawaban yang sesuai dengan konteks lokal mereka.
Pelatihan dan pendampingan barangkali dapat dilihat sebagai faktor determinan berjalannya program ini. Oleh sebabnya, pendirian koperasi tak boleh berhenti pada aspek legal-formal. Sebaliknya, ia harus diikuti dengan proses inkubasi kelembagaan. Tahapannya dapat dimulai dari pelatihan akuntansi dasar, manajemen risiko, hingga pengembangan etika bisnis. Di sinilah aktor eksternal seperti perguruan tinggi, NGO, dan pelaku usaha bisa memainkan peran penting sebagai mitra strategis desa.
Sebagai permulaan, pemerintah sebaiknya menerapkan pendekatan uji coba atau pilot project di beberapa desa terpilih dengan karakteristik berbeda. Melalui proses ini, pemerintah dapat mengevaluasi desain kelembagaan, menyesuaikan pendekatan dengan realitas lokal, dan membangun praktik baik yang dapat direplikasi. Strategi ini tidak lain merupakan upaya untuk menerapkan prinsip kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Atau dengan kata lain, kita penting untuk belajar dari pengalaman lapangan sebelum melakukan skala besar.
Alhasil, masa depan Koperasi Merah Putih akan sangat bergantung pada sejauh mana negara bersedia mengakui kapasitas desa sebagai aktor otonom dalam pembangunan. Tanpa partisipasi yang autentik, kelembagaan yang kuat, dan sistem pengawasan yang transparan, program ini bisa menjadi sekadar narasi indah tanpa makna substantif. Sebaliknya, jika dikelola dengan cermat dan visioner, Koperasi Merah Putih berpotensi menjadi tonggak baru dalam membangun ekonomi kerakyatan yang adil ke depannya. Semoga saja!
(Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah)
Program Koperasi Desa Merah Putih, yang diwacanakan akan diluncurkan pada Oktober 2025, dapat dibaca sebagai angin segar dalam upaya menjawab ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah. Secara bersamaan, ia juga merepresentasikan kehendak untuk menghidupkan kembali peran desa sebagai unit ekonomi yang mandiri dan berdaya.
Dengan target ambisius membentuk sekitar 80.000 koperasi desa serta menyertakan skema pembiayaan sebesar Rp3–5 miliar per unit, program ini tampak menjanjikan di atas kertas. Namun di balik angka-angka impresif dan jargon pemberdayaan, muncul pertanyaan mendasar: apakah desa benar-benar siap menjadi episentrum ekonomi baru? Dan lebih jauh, apakah negara sungguh-sungguh mendengar suara desa?
Koperasi dan Perdebatannya
Secara historis, koperasi bukanlah entitas asing dalam lanskap ekonomi Indonesia. Dumairy dan Tarli Nugroho, dalam Ekonomi Pancasila: Warisan Pemikiran Mubyarto (2016), menjelaskan bahwa Mubyarto pernah menggalakkankoperasi sebagai perwujudan etos ekonomi kerakyatan dalam kerangka ekonomi Pancasila. Dalam pandangan Mubyarto, koperasi tidak hanya berfungsi sebagai entitas ekonomi yang mengejar efisiensi, melainkan sebagai instrumen sosial untuk membangun keadilan dan solidaritas di tengah masyarakat, khususnya di tingkat akar rumput. Hal ini tercermin, misalnya, dalam program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang menekankan prinsip kekeluargaan dan gotong royong—nilai-nilai yang secara inheren melekat pada model koperasi dan selaras dengan tradisi kolektif masyarakat desa.
Meskipun dalam konteks tertentu koperasi dapat dianggap sebagai solusi efektif pada masanya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa implementasinya kerap terjebak dalam kerangka administratif yang dangkal. Jika dikontekstualisasikan pada kondisi saat ini, Hans Antlöv dan Anna Wetterberg (2011), misalnya, mencatat bahwa proses desentralisasi di Indonesia belum sepenuhnya menghasilkan partisipasi yang substantif. Sebaliknya, desentralisasi justru kerap membuka ruang bagi dominasi baru oleh elit lokal, yang pada akhirnya menghambat penguatan kelembagaan serta mengurangi efektivitas tata kelola di tingkat desa.
Dalam konteks Koperasi Merah Putih, Kementerian Koperasi dan UKM menegaskan bahwa koperasi ini dirancang sebagai respons terhadap maraknya praktik rentenir dan pinjaman online ilegal yang menjerat warga desa dalam siklus utang. Di sini, koperasi diposisikan sebagai instrumen perlindungan ekonomi masyarakat kecil. Gagasan ini mengingatkan pada pandangan Hernando de Soto (2000) dalam The Mystery of Capital, yang menilai betapa pentingnya pengakuan legal terhadap aset dan aktivitas ekonomi informal sebagai dasar bagi perluasan akses terhadap modal. Artinya, jika koperasi mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip ini, maka perannya tidak hanya sebatas penyedia pinjaman, melainkan sebagai fondasi sistem ekonomi alternatif berbasis solidaritas sosial.
Namun, skema pembiayaan besar melalui dana desa yang disalurkan dalam bentuk pinjaman bergulir hingga Rp3-5 miliar per koperasi menghadirkan risiko yang tidak kecil. Ketika koperasi dibentuk secara top-down—seperti yang terjadi dalam pengalaman Koperasi Unit Desa (KUD)—tanpa kesiapan kelembagaan dan budaya tata kelola yang sehat, potensi moral hazard akan sulit dihindari. Minimnya kapasitas pengawasan internal di tingkat desa, ditambah dengan lemahnya akuntabilitas, sering kali membuka ruang bagi penyimpangan penggunaan dana. Dalam banyak kasus, pengelolaan dana publik di desa masih dibayangi oleh pola relasi patronase serta keputusan yang lebih mencerminkan kepentingan elit lokal ketimbang kebutuhan kolektif warga.
Kekhawatiran tersebut bukanlah asumsi belaka. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2020 menunjukkan bahwa hampir 60% kasus korupsi dana desa melibatkan kepala desa dan perangkatnya (Kompas, 11/3/2025). Kondisi demikian menjadi gambaran lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas yang masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam tata kelola desa. Dalam situasi seperti ini, program koperasi desa dapat dengan mudah mengalami nasib serupa dengan berbagai program ekonomi lain yang gagal karena terlalu tergesa dan tidak kontekstual.
Keberadaan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), seperti turut disampaikan Zulkifli Hasan, Menteri Koordinator Bidang Pangan, juga menjadi faktor penting yang harus diperhitungkan. Beberapa studi, seperti yang dilakukan oleh Sofyani, et al., (2019) menunjukkan bahwa BUMDes dapat menjadi motor ekonomi lokal yang efektif bila dikelola secara partisipatif dan berbasis pada potensi desa. Maka dari itu, hal ini juga mengandaikan bahwa jika Koperasi Merah Putih tidak didesain secara sinergis dan komplementer dengan BUMDes, bukan tidak mungkin keduanya akan saling berbenturan secara struktural maupun fungsional, yang pada giliranny menimbulkan kebingungan di tingkat operasional.
Jika merujuk pada praktik internasional, negara seperti Jepang dan Korea Selatan menunjukkan bahwa proses menjalankan koperasi perlu ditopang oleh tata kelola yang demokratis, akuntabel, serta berorientasi pada kebutuhan anggota. Seperti dicatat Johnston Birchall (2003), kekuatan koperasi terletak pada partisipasi aktif anggota dan dukungan institusional yang konsisten. Di Jepang, koperasi pertanian berkembang berkat kebijakan yang mendukung dan kultur kerja sama antar petani, sementara di Korea Selatan, penguatan koperasi ditopang oleh investasi dalam pendidikan anggota. Corak seperti inilah yang patut ditiru oleh negara kita.
Kita juga dapat belajar dari kegagalan masa lalu, terutama pada era Orde Baru saat Koperasi Unit Desa (KUD) difungsikan sebagai instrumen distribusi kebijakan, terutama pupuk dan kredit pertanian. Ketika sistem politik berubah, KUD kehilangan legitimasi karena tidak tumbuh dari bawah dan tidak memiliki akar di komunitas. Ini menguatkan tesis James C. Scott dalam Seeing Like a State (1998), bahwa proyek pembangunan yang terlalu terpusat cenderung gagal karena mengabaikan kompleksitas lokal dan kapasitas aktor-aktor di dalamnya.
Menempatkan Warga sebagai Aktor
Agar Koperasi Merah Putih tidak terjebak pada jebakan serupa, pendekatan yang digunakan haruslah berbasis partisipasi dan pembelajaran sosial. Warga desa perlu ditempatkan sebagai aktor pembangunan, bukan sekadar penerima program. Visi koperasi harus dirumuskan bersama, yaitu dengan membuka ruang deliberatif di mana warga dapat merancang bentuk usaha, sistem pengelolaan, dan mekanisme pertanggungjawaban yang sesuai dengan konteks lokal mereka.
Pelatihan dan pendampingan barangkali dapat dilihat sebagai faktor determinan berjalannya program ini. Oleh sebabnya, pendirian koperasi tak boleh berhenti pada aspek legal-formal. Sebaliknya, ia harus diikuti dengan proses inkubasi kelembagaan. Tahapannya dapat dimulai dari pelatihan akuntansi dasar, manajemen risiko, hingga pengembangan etika bisnis. Di sinilah aktor eksternal seperti perguruan tinggi, NGO, dan pelaku usaha bisa memainkan peran penting sebagai mitra strategis desa.
Sebagai permulaan, pemerintah sebaiknya menerapkan pendekatan uji coba atau pilot project di beberapa desa terpilih dengan karakteristik berbeda. Melalui proses ini, pemerintah dapat mengevaluasi desain kelembagaan, menyesuaikan pendekatan dengan realitas lokal, dan membangun praktik baik yang dapat direplikasi. Strategi ini tidak lain merupakan upaya untuk menerapkan prinsip kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Atau dengan kata lain, kita penting untuk belajar dari pengalaman lapangan sebelum melakukan skala besar.
Alhasil, masa depan Koperasi Merah Putih akan sangat bergantung pada sejauh mana negara bersedia mengakui kapasitas desa sebagai aktor otonom dalam pembangunan. Tanpa partisipasi yang autentik, kelembagaan yang kuat, dan sistem pengawasan yang transparan, program ini bisa menjadi sekadar narasi indah tanpa makna substantif. Sebaliknya, jika dikelola dengan cermat dan visioner, Koperasi Merah Putih berpotensi menjadi tonggak baru dalam membangun ekonomi kerakyatan yang adil ke depannya. Semoga saja!