JAKARTA, Cobisnis.com – Produsen Swiss Army Knife, Victorinox, tengah berupaya menahan kenaikan harga produknya di Amerika Serikat serta mencari pasar baru di tengah tekanan tarif dagang tinggi yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump.
Pisau lipat ikonik berwarna merah-perak itu, yang populer di AS sejak masa pasca-Perang Dunia II, diproduksi di pabrik Ibach, Swiss tengah. Di sana, lembaran baja tahan karat dibentuk menjadi bilah, diasah dengan batu keramik abrasif, dan dipanaskan lebih dari 1.000°C sebelum akhirnya diasah menjadi pisau tajam.
Victorinox, yang memproduksi sekitar 10 juta pisau Swiss Army setiap tahun serta memasarkan pisau dapur, jam tangan, dan koper, menjadi salah satu produsen Swiss yang terdampak kebijakan tarif 39% untuk barang impor dari Swiss ke AS sejak Agustus.
Menurut CEO Carl Elsener, yang merupakan cicit pendiri perusahaan pada tahun 1884, tarif tersebut dapat menambah beban biaya hingga $13 juta per tahun. Dengan pasar AS menyumbang 13% dari total penjualan 417 juta franc Swiss ($519 juta) pada 2024, Elsener mengaku setiap produk yang dikirim ke AS akan merugi jika tarif tetap diberlakukan.
Sebagai respons, Victorinox telah mengirim stok tambahan ke AS, meningkatkan efisiensi produksi di Swiss, dan mempertimbangkan melakukan proses akhir seperti pemolesan dan pengemasan di AS untuk menekan biaya impor.
“Kami berusaha mengurangi ketergantungan pada pasar AS dengan memperluas penjualan di Amerika Latin dan Asia,” ujar Elsener.
Namun, Victorinox menegaskan tidak akan memindahkan produksi utama ke luar negeri karena untuk mempertahankan label ‘Swiss Made’, minimal 60% biaya produksi harus dilakukan di Swiss.
“Memproduksi Swiss Army Knife di luar negeri bukan pilihan,” tegas Elsener, menambahkan bahwa kekuatan merek terletak pada warisan Swiss-nya.
Kondisi serupa juga dirasakan oleh banyak produsen Swiss lain. Menurut survei asosiasi Swiss Mechanic, sekitar 45% perusahaan manufaktur kecil dan menengah Swiss mengalami penurunan pesanan sejak tarif diberlakukan. Kenaikan nilai franc terhadap dolar sebesar 12% tahun ini juga memperburuk margin keuntungan mereka.
Meski begitu, Elsener tetap optimistis:
“Kami telah melewati Perang Dunia, Depresi Besar, krisis ekonomi global, dan krisis minyak. Ini hanya tantangan terbaru yang pasti bisa kami atasi.”