JAKARTA, Cobisnis.com - Meski Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah mengabulkan pencabutan permohonan pailit terhadap PT Sari Kreasi Boga Tbk (SKB) dengan kode saham RAFI, perkara ini memunculkan sejumlah pertanyaan kritis terkait tata kelola, manajemen risiko, dan keterbukaan informasi emiten kepada publik serta investor.
Permohonan pailit yang diajukan oleh ICS Direct Lending Strategic Fund Pte. Ltd. (ICS) pada 28 Oktober 2025 melibatkan nilai klaim utang mencapai Rp19,02 miliar. SKB terseret perkara tersebut bukan sebagai debitur utama, melainkan dalam kapasitas sebagai penjamin korporasi atas fasilitas kredit yang diberikan ICS kepada PT Samudra Karunia Bersama.
Namun, keterlibatan sebagai penjamin tetap menempatkan SKB pada risiko hukum dan finansial yang signifikan.
Yang menjadi sorotan, manajemen mengakui belum melakukan keterbukaan informasi pada tahap awal gugatan dengan alasan belum adanya putusan pengadilan. Sikap ini berpotensi menimbulkan pertanyaan mengenai kepatuhan perseroan terhadap prinsip keterbukaan informasi di pasar modal, mengingat proses kepailitan, meskipun belum diputus, berpotensi berdampak material terhadap persepsi investor dan pergerakan saham.
Fakta bahwa PT Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan secara terpisah mengirimkan surat permintaan penjelasan pada November dan Desember 2025 memperkuat indikasi adanya kekhawatiran regulator terhadap keterlambatan atau ketidakcukupan informasi yang disampaikan ke publik.
Manajemen SKB menyatakan bahwa selama proses persidangan, perseroan aktif mengikuti agenda hukum sekaligus melakukan negosiasi intensif hingga berujung pada pencabutan permohonan pailit oleh pemohon.
Namun, pencabutan perkara tersebut tidak serta merta menghapus pertanyaan mendasar terkait mekanisme pengambilan keputusan bisnis, khususnya pemberian jaminan korporasi dalam jumlah besar yang nilainya mendekati Rp20 miliar.
Selain itu, klaim manajemen bahwa tidak terdapat dampak negatif terhadap operasional, kondisi keuangan, dan kelangsungan usaha perseroan masih memerlukan pengujian lebih lanjut melalui laporan keuangan dan pengungkapan risiko yang lebih komprehensif.
Pasar berhak mengetahui sejauh mana eksposur penjaminan tersebut dicadangkan, dimitigasi, atau berpotensi memengaruhi arus kas perseroan ke depan.
Penetapan pengadilan tertanggal 11 Desember 2025 memang secara hukum mengakhiri status SKB sebagai termohon pailit dan mengembalikan perseroan pada kondisi hukum normal.
Namun, dari perspektif tata kelola, perkara ini menjadi pengingat bahwa risiko hukum tidak hanya muncul dari utang langsung, tetapi juga dari hubungan bisnis tidak langsung yang kurang dikomunikasikan secara transparan kepada publik.
Ke depan, rencana perseroan untuk mengajukan penghapusan notasi khusus dan menyampaikan keterbukaan informasi lanjutan patut dicermati oleh investor dan regulator.
Kasus ini menjadi ujian penting bagi komitmen SKB dalam memperkuat praktik keterbukaan informasi, manajemen risiko, serta perlindungan kepentingan pemegang saham minoritas.