JAKARTA, Cobisnis.com - Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyambangi Kantor Kementerian Perhubungan untuk bertemu Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi. Keduanya menbahas penurunan biaya logistik.
AHY mengatakan biaya logistik masih menjadi tantangan bagi pelaku usaha saat ini. Bahkan, dia bilang mahalnya biaya logistik ini berpengaruh besar terhadap harga jual produk di tingkat konsumen.
“Cost of logistics ini juga sering menjadi tantangan, kita tidak ingin biaya pembangunan itu besar sekali kontribusi, besar sekali yang menjadi beban transportasinya, kita harus kurangi,” katanya saat konferensi pers, di Kementerian Perhubungan, Jakarta, Rabu, 30 Oktober.
Menurut AHY, biaya logistik memang menjadi isu utama yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Karena itu, dia mengaku ingin menekan persentase biaya logistik agar manfaat ekonomi bisa lebih dirasakan masyarakat.
“Sehingga prosentase antara biaya logistik atau transportasi logistik tadi bisa ditekan lebih baik, sehingga keuntungan atau manfaat ekonominya bisa lebih besar dirasakan oleh masyarakat dan daerah,” ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, Ekonom Senior Piter Abdullah mengatakan bahwa Ketidakseimbangan antara supply dan demand logistik menjadi penyebabnya biaya logistik di Indonesia. Saat ini terjadi ketidakseimbangan supply dan demand terjadi antara Pulau Jawa dan Luar Jawa.
Pieter mengatakan pengiriman barang dari Jawa saat ini memang sudah murah, tetapi ketika kembali dari Luar Jawa, harganya menjadi mahal karena muatan kosong.
Dengan demikian, sambung Pieter, sebagus apapun sistem logistik yang dibangun dengan tujuan efisiensi, masih belum memenuhi tujuan awal Presiden Joko Widodo (Jokowi) menurunkan biaya logistik.
“Itulah yang menyebabkan logistik kita pengirimannya menjadi mahal,” tuturnya dalam acara Penguatan BUMN Menuju Indonesia Emas bertajuk Smart Supply Chain: Digitalisasi Sistem Logistik Indonesia, di Sarinah, Jakarta, Rabu, 2 Oktober.
Pieter mengatakan tol laut yang terus digaungkan oleh Jokowi juga tak terlalu berdampak pada penurunan biaya logistik karena ada permasalahan ketidakseimbangan supply dan demand.
Di sisi lain, Pieter mengakui pemerintah era Presiden Jokowi memang cukup berhasil dalam hal pembangunan infrastruktur dan konektivitas untuk mendukung sektor logistik nasional.
Namun, sambung Pieter, kedua hal itu belum cukup menekan biaya logistik di dalam negeri karena adanya ketidakseimbangan antara supply dan demand.
Mengacu pada data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, serta Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan Kementerian Perhubungan, biaya logistik di Indonesia sepanjang tahun 2023 lalu masih berada di level 14,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Secara mikro, baik di PT Pos Indonesia, maupun PT Pelindo, termasuk juga logistik udara itu sedang reform yang luar biasa. Tapi yang saya sebutkan tadi pada ujungnya tujuan akhir kita menurunkan biaya logistik yang bisa memperbaiki daya saing, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan kesejahteraan, itu yang belum terjadi,” ucapnya.
AHY mengatakan biaya logistik masih menjadi tantangan bagi pelaku usaha saat ini. Bahkan, dia bilang mahalnya biaya logistik ini berpengaruh besar terhadap harga jual produk di tingkat konsumen.
“Cost of logistics ini juga sering menjadi tantangan, kita tidak ingin biaya pembangunan itu besar sekali kontribusi, besar sekali yang menjadi beban transportasinya, kita harus kurangi,” katanya saat konferensi pers, di Kementerian Perhubungan, Jakarta, Rabu, 30 Oktober.
Menurut AHY, biaya logistik memang menjadi isu utama yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Karena itu, dia mengaku ingin menekan persentase biaya logistik agar manfaat ekonomi bisa lebih dirasakan masyarakat.
“Sehingga prosentase antara biaya logistik atau transportasi logistik tadi bisa ditekan lebih baik, sehingga keuntungan atau manfaat ekonominya bisa lebih besar dirasakan oleh masyarakat dan daerah,” ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, Ekonom Senior Piter Abdullah mengatakan bahwa Ketidakseimbangan antara supply dan demand logistik menjadi penyebabnya biaya logistik di Indonesia. Saat ini terjadi ketidakseimbangan supply dan demand terjadi antara Pulau Jawa dan Luar Jawa.
Pieter mengatakan pengiriman barang dari Jawa saat ini memang sudah murah, tetapi ketika kembali dari Luar Jawa, harganya menjadi mahal karena muatan kosong.
Dengan demikian, sambung Pieter, sebagus apapun sistem logistik yang dibangun dengan tujuan efisiensi, masih belum memenuhi tujuan awal Presiden Joko Widodo (Jokowi) menurunkan biaya logistik.
“Itulah yang menyebabkan logistik kita pengirimannya menjadi mahal,” tuturnya dalam acara Penguatan BUMN Menuju Indonesia Emas bertajuk Smart Supply Chain: Digitalisasi Sistem Logistik Indonesia, di Sarinah, Jakarta, Rabu, 2 Oktober.
Pieter mengatakan tol laut yang terus digaungkan oleh Jokowi juga tak terlalu berdampak pada penurunan biaya logistik karena ada permasalahan ketidakseimbangan supply dan demand.
Di sisi lain, Pieter mengakui pemerintah era Presiden Jokowi memang cukup berhasil dalam hal pembangunan infrastruktur dan konektivitas untuk mendukung sektor logistik nasional.
Namun, sambung Pieter, kedua hal itu belum cukup menekan biaya logistik di dalam negeri karena adanya ketidakseimbangan antara supply dan demand.
Mengacu pada data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, serta Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan Kementerian Perhubungan, biaya logistik di Indonesia sepanjang tahun 2023 lalu masih berada di level 14,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Secara mikro, baik di PT Pos Indonesia, maupun PT Pelindo, termasuk juga logistik udara itu sedang reform yang luar biasa. Tapi yang saya sebutkan tadi pada ujungnya tujuan akhir kita menurunkan biaya logistik yang bisa memperbaiki daya saing, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan kesejahteraan, itu yang belum terjadi,” ucapnya.