Jamkrindo

Tinutuan: Bubur Khas Manado yang Menggugah Selera dan Kaya Gizi

Oleh Muh. Abdi Sesardiman pada 02 Jul 2025, 18:45 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Siapa yang tak kenal dengan Tinutuan? Bubur khas Manado ini bukan sekadar hidangan biasa, melainkan perpaduan cita rasa unik dan kaya gizi yang telah menjadi ikon kuliner Sulawesi Utara. Dikenal juga dengan sebutan bubur Manado, Tinutuan selalu berhasil memikat lidah para penikmatnya, baik masyarakat lokal maupun wisatawan.

Tinutuan adalah bubur yang terbuat dari campuran berbagai sayuran hijau, seperti kangkung, bayam, daun melinjo, dan kemangi, yang dimasak bersama labu kuning dan ubi jalar.

Uniknya, Tinutuan dimasak tanpa menggunakan nasi, melainkan dengan jagung pipil sebagai penggantinya, menjadikannya pilihan menarik bagi mereka yang mencari alternatif karbohidrat.

Rasa Tinutuan yang otentik berasal dari perpaduan gurihnya bubur, manisnya labu kuning, serta aroma harum dari daun kemangi. Biasanya, Tinutuan disajikan hangat dengan beragam pelengkap yang menambah kenikmatan, seperti ikan asin goreng, sambal roa, tahu atau tempe goreng, hingga perkedel jagung. Tak jarang pula, hiduan ini disantap bersama ikan cakalang fufu, yaitu ikan cakalang asap khas Manado, yang memberikan sentuhan rasa yang lebih kuat dan beraroma.

Selain lezat, Tinutuan juga dikenal sebagai hidangan yang sangat bergizi. Kandungan serat tinggi dari berbagai sayuran membantu menjaga kesehatan pencernaan, sementara labu kuning kaya akan vitamin A yang baik untuk mata. Ini menjadikan Tinutuan pilihan sarapan yang sempurna untuk memulai hari dengan energi dan nutrisi yang cukup.

Popularitas Tinutuan tidak hanya terbatas di Manado. Kini, hidangan ini mudah ditemukan di berbagai kota besar di Indonesia, bahkan mulai dikenal di kancah kuliner internasional.

Restoran-restoran khas Manado seringkali menjadikan Tinutuan sebagai menu andalan mereka, menarik banyak penggemar kuliner yang ingin mencicipi keunikan rasa bubur sayur ini.

Sejarah dan Filosofi di Balik Semangkuk Tinutuan

Di balik kelezatannya, Tinutuan menyimpan sejarah dan filosofi yang menarik. Nama "Tinutuan" sendiri berasal dari kata "tutuan" yang berarti "campur-campur" atau "dicampur", merujuk pada beragamnya bahan baku yang digunakan dalam pembuatannya. Konon, Tinutuan awalnya adalah makanan sarapan para petani yang mencari hidangan praktis, mengenyangkan, dan bernutrisi tinggi sebelum memulai aktivitas di ladang.

Filosofi yang terkandung dalam Tinutuan sangat kental dengan nilai kebersamaan dan keberagaman. Berbagai jenis sayuran yang berbeda disatukan dalam satu wadah, menghasilkan harmoni rasa yang luar biasa. Ini melambangkan masyarakat Minahasa yang majemuk, namun dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi, menciptakan kekuatan dan keindahan bersama. Oleh karena itu, Tinutuan sering menjadi hidangan yang dinikmati bersama keluarga atau saat acara-acara komunal, memperkuat ikatan sosial.

Inovasi dan Adaptasi Tinutuan di Era Modern

Meskipun mempertahankan resep aslinya, Tinutuan juga mengalami berbagai inovasi dan adaptasi seiring berjalannya waktu. Beberapa restoran modern menawarkan variasi Tinutuan dengan tambahan topping yang lebih kekinian, seperti telur mata sapi, irisan daging asap, atau bahkan keju, untuk menarik generasi muda. Tak hanya itu, Tinutuan juga mulai banyak dijual dalam bentuk beku atau kemasan siap saji, memudahkan siapa saja untuk menikmati kelezatannya kapan saja dan di mana saja.

Pemerintah daerah dan pegiat kuliner di Sulawesi Utara juga aktif mempromosikan Tinutuan melalui festival kuliner, acara budaya, dan kampanye digital.

Tujuannya adalah untuk melestarikan warisan kuliner ini sekaligus memperkenalkan kekayaan gastronomi Indonesia ke kancah global. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan pariwisata kuliner dan memberikan dampak positif bagi ekonomi lokal, khususnyag bagi para petani sayur dan UMKM yang terlibat dalam rantai pasok Tinutuan.

Tinutuan lebih dari sekadar bubur; ia adalah cerminan dari kekayaan alam, budaya, dan kearifan lokal masyarakat Manado.

Sebuah hidangan yang terus beradaptasi tanpa kehilangan identitasnya, siap memanjakan lidah siapa pun yang mencicipinya.