JAKARTA, Cobisnis.com – Bermula dari hobi dan ketertarikan pada motif kain sasirangan, Rina Basrindu—yang dikenal dengan nama brand-nya Acil Imas—kini menjelma sebagai salah satu pengusaha sasirangan yang konsisten dan dikenal di Banjarmasin.
Perjalanan bisnisnya dimulai pada tahun 2009, saat ia mulai membuat kain sasirangan untuk dipakai sendiri. Tak disangka, kerabat dan teman-temannya banyak yang menyukai karya tersebut. “Banyak yang suka karena kainku ini bisa dibilang limited—motifnya unik dan tidak pasaran,” ujarnya saat ditemui di galeri miliknya.
Rina menceritakan bahwa kecintaannya pada kain sasirangan mendorongnya untuk kerap mengunjungi pengrajin-pengrajin lokal. Ia bahkan tertarik membeli produk-produk yang dianggap gagal oleh pengrajin karena tidak sesuai pesanan. “Buatku, justru itu menarik karena hanya ada satu—unik,” kenangnya.
Sebagai informasi, sasirangan adalah kain tradisional khas suku Banjar, Kalimantan Selatan. Teknik pembuatannya menggunakan metode jelujur, yaitu menjahit kain mengikuti pola, lalu mengikat dan mencelupkannya ke dalam pewarna. Proses ini menjadikan setiap kain sasirangan bersifat unik, mirip batik namun dengan filosofi dan corak tersendiri. Kini, sasirangan telah bertransformasi menjadi bahan busana modern, mulai dari pakaian kerja, pesta, hingga gaya kasual.
Melihat antusiasme pasar, pada tahun 2012 Rina memutuskan untuk menekuni usaha ini secara serius. “Kalau batik bisa dibuat menjadi berbagai produk dan terkenal, saya yakin sasirangan juga bisa,” ujarnya optimistis. Awalnya, ia hanya dibantu satu penjahit dan bekerja sama dengan pengrajin untuk proses produksi.
Mengingat proses pembuatan sasirangan cukup kompleks—mulai dari pembuatan pola, menjelujur, hingga pewarnaan—Acil Imas kini menggandeng beberapa rekan pengrajin. Permintaan pun terus meningkat, termasuk dari segmen biro perjalanan haji dan umrah, perusahaan, hingga lembaga pendidikan. “Saat ini, saya sudah bekerja sama dengan tiga biro travel haji yang rutin memesan hingga 300 potong kain,” ungkapnya.
Selain memperkuat produksi, Rina juga turut memberdayakan warga sekitar sebagai tenaga kerja, mulai dari bagian produksi hingga kurir. Ia menyebut, kekuatan warna adalah salah satu ciri khas produknya yang menjadi perhatian utama dalam menjaga kualitas. “Karena ini berangkat dari hobi, dari cinta. Saya tidak mungkin memberikan produk yang tidak bagus kepada pelanggan. Mereka juga sudah mengenali karakter kain Acil Imas—selain motif, kekuatan warnanya yang jadi pembeda,” jelasnya.
Dalam pengembangan usaha, Rina mengaku masih menghadapi tantangan, terutama pada ketersediaan bahan baku dan tenaga kerja terampil. Bahan baku masih didominasi oleh produk impor, baik kain maupun zat pewarna. Selain kain sutera, ia juga menyukai penggunaan satin dan tenun Jepang karena kualitas dan tampilannya menyerupai sutera, namun dengan harga lebih terjangkau.
Adapun untuk tenaga jahit, Rina bersyukur karena kondisi kini jauh lebih baik dibanding awal usahanya. “Dulu saya sampai kirim jahitan ke Bandung, sekarang alhamdulillah sudah bisa dikerjakan di Banjarmasin sendiri. Banyak juga tenaga lokal yang terlatih berkat pelatihan-pelatihan dari dinas,” ujarnya.
Dalam hal pemasaran, Rina lebih memilih penjualan secara langsung di rumah dan kafe, serta terbatas melalui media sosial. Rina lebih memilih metode penjualan tatap muka untuk menjaga kepuasan pelanggan dan menghindari ketidaksesuaian ekspektasi, karena motif yang dihasilkan secara handmade sering kali tidak identic dengan tampilan online.
Perjalanan bisnisnya dimulai pada tahun 2009, saat ia mulai membuat kain sasirangan untuk dipakai sendiri. Tak disangka, kerabat dan teman-temannya banyak yang menyukai karya tersebut. “Banyak yang suka karena kainku ini bisa dibilang limited—motifnya unik dan tidak pasaran,” ujarnya saat ditemui di galeri miliknya.
Rina menceritakan bahwa kecintaannya pada kain sasirangan mendorongnya untuk kerap mengunjungi pengrajin-pengrajin lokal. Ia bahkan tertarik membeli produk-produk yang dianggap gagal oleh pengrajin karena tidak sesuai pesanan. “Buatku, justru itu menarik karena hanya ada satu—unik,” kenangnya.
Sebagai informasi, sasirangan adalah kain tradisional khas suku Banjar, Kalimantan Selatan. Teknik pembuatannya menggunakan metode jelujur, yaitu menjahit kain mengikuti pola, lalu mengikat dan mencelupkannya ke dalam pewarna. Proses ini menjadikan setiap kain sasirangan bersifat unik, mirip batik namun dengan filosofi dan corak tersendiri. Kini, sasirangan telah bertransformasi menjadi bahan busana modern, mulai dari pakaian kerja, pesta, hingga gaya kasual.
Melihat antusiasme pasar, pada tahun 2012 Rina memutuskan untuk menekuni usaha ini secara serius. “Kalau batik bisa dibuat menjadi berbagai produk dan terkenal, saya yakin sasirangan juga bisa,” ujarnya optimistis. Awalnya, ia hanya dibantu satu penjahit dan bekerja sama dengan pengrajin untuk proses produksi.
Mengingat proses pembuatan sasirangan cukup kompleks—mulai dari pembuatan pola, menjelujur, hingga pewarnaan—Acil Imas kini menggandeng beberapa rekan pengrajin. Permintaan pun terus meningkat, termasuk dari segmen biro perjalanan haji dan umrah, perusahaan, hingga lembaga pendidikan. “Saat ini, saya sudah bekerja sama dengan tiga biro travel haji yang rutin memesan hingga 300 potong kain,” ungkapnya.
Selain memperkuat produksi, Rina juga turut memberdayakan warga sekitar sebagai tenaga kerja, mulai dari bagian produksi hingga kurir. Ia menyebut, kekuatan warna adalah salah satu ciri khas produknya yang menjadi perhatian utama dalam menjaga kualitas. “Karena ini berangkat dari hobi, dari cinta. Saya tidak mungkin memberikan produk yang tidak bagus kepada pelanggan. Mereka juga sudah mengenali karakter kain Acil Imas—selain motif, kekuatan warnanya yang jadi pembeda,” jelasnya.
Dalam pengembangan usaha, Rina mengaku masih menghadapi tantangan, terutama pada ketersediaan bahan baku dan tenaga kerja terampil. Bahan baku masih didominasi oleh produk impor, baik kain maupun zat pewarna. Selain kain sutera, ia juga menyukai penggunaan satin dan tenun Jepang karena kualitas dan tampilannya menyerupai sutera, namun dengan harga lebih terjangkau.
Adapun untuk tenaga jahit, Rina bersyukur karena kondisi kini jauh lebih baik dibanding awal usahanya. “Dulu saya sampai kirim jahitan ke Bandung, sekarang alhamdulillah sudah bisa dikerjakan di Banjarmasin sendiri. Banyak juga tenaga lokal yang terlatih berkat pelatihan-pelatihan dari dinas,” ujarnya.
Dalam hal pemasaran, Rina lebih memilih penjualan secara langsung di rumah dan kafe, serta terbatas melalui media sosial. Rina lebih memilih metode penjualan tatap muka untuk menjaga kepuasan pelanggan dan menghindari ketidaksesuaian ekspektasi, karena motif yang dihasilkan secara handmade sering kali tidak identic dengan tampilan online.