JAKARTA, Cobisnis.com - Pengawasan terhadap aset keuangan digital, termasuk kripto, kini resmi beralih dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Peralihan ini sesuai dengan dua aturan, yaitu Pasal 8 angka 4 dan Pasal 312 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), serta Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2024 tentang peralihan tugas pengaturan dan pengawasan aset keuangan digital dan kripto.
Adapun proses serah terima dilakukan pada 10 Januari 2025, setelah Undang-Undang P2SK diundangkan pada 12 Januari 2023.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan bahwa peralihan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, mendalami pasar keuangan yang terintegrasi, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perlindungan konsumen.
"Kami berkomitmen agar transisi, tugas pengaturan, dan pengawasan dilakukan secara mulus atau seamless untuk menghindari gejolak di pasar," ujarnya dalam Konferensi Pers, Selasa, 14 Januari.
Sebagai langkah awal, OJK telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 27 Tahun 2024 dan Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 20 Tahun 2024.
Mahendra menyampaikan pihak juga sedang menyiapkan POJK baru terkait derivatif keuangan, yang diperkirakan akan terbit pada awal 2025 dimana saat ini aturan tersebut sedang dalam proses administratif pengundangan.
Untuk mendukung pengawasan, Mahendra menyampaikan OJK telah menyiapkan sistem perizinan digital melalui Sistem Perizinan dan Registrasi Terintegrasi (SPRINT).
"OJK dan Bappebti telah melakukan koordinasi dan berkomitmen untuk mendukung pengembangan dan penguatan ekosistem derivatif keuangan secara keseluruhan sesuai dengan kewenangan masing-masing," tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan OJK Hasan Fawzi menyampaikan peralihan ini membuat aset kripto kini dianggap sebagai instrumen keuangan, bukan lagi komoditas.
"Perubahan ini berdampak juga pada cara pengaturan dan pengawasan terhadap aset kripto di Indonesia, antara lain dalam pendekatan pengaturan dan pengawasan," ucapnya.
Dengan peralihan pengawasan ke OJK, Hasan menyampaikan aspek regulasi akan lebih menyeluruh, mencakup pengawasan terhadap transaksi, produk, layanan, risiko, tata kelola, serta integrasi dengan sektor keuangan lainnya.
Menurut Hasan perlindungan konsumen menjadi fokus utama OJK, dengan harapan agar regulasi kripto dapat lebih terintegrasi dan mendukung stabilitas sistem keuangan.
"OJK juga tentu ingin memastikan bahwa kegiatan kripto dapat beroperasi dalam kerangka yang lebih aligning, lebih selaras, dengan prinsip-prinsip stabilitas sistem keuangan," tuturnya.
Hingga November 2024, jumlah investor kripto di Indonesia tercatat mencapai 22,11 juta, dengan total transaksi mencapai Rp556,53 triliun, mencatatkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Peralihan ini sesuai dengan dua aturan, yaitu Pasal 8 angka 4 dan Pasal 312 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), serta Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2024 tentang peralihan tugas pengaturan dan pengawasan aset keuangan digital dan kripto.
Adapun proses serah terima dilakukan pada 10 Januari 2025, setelah Undang-Undang P2SK diundangkan pada 12 Januari 2023.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan bahwa peralihan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, mendalami pasar keuangan yang terintegrasi, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perlindungan konsumen.
"Kami berkomitmen agar transisi, tugas pengaturan, dan pengawasan dilakukan secara mulus atau seamless untuk menghindari gejolak di pasar," ujarnya dalam Konferensi Pers, Selasa, 14 Januari.
Sebagai langkah awal, OJK telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 27 Tahun 2024 dan Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 20 Tahun 2024.
Mahendra menyampaikan pihak juga sedang menyiapkan POJK baru terkait derivatif keuangan, yang diperkirakan akan terbit pada awal 2025 dimana saat ini aturan tersebut sedang dalam proses administratif pengundangan.
Untuk mendukung pengawasan, Mahendra menyampaikan OJK telah menyiapkan sistem perizinan digital melalui Sistem Perizinan dan Registrasi Terintegrasi (SPRINT).
"OJK dan Bappebti telah melakukan koordinasi dan berkomitmen untuk mendukung pengembangan dan penguatan ekosistem derivatif keuangan secara keseluruhan sesuai dengan kewenangan masing-masing," tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan OJK Hasan Fawzi menyampaikan peralihan ini membuat aset kripto kini dianggap sebagai instrumen keuangan, bukan lagi komoditas.
"Perubahan ini berdampak juga pada cara pengaturan dan pengawasan terhadap aset kripto di Indonesia, antara lain dalam pendekatan pengaturan dan pengawasan," ucapnya.
Dengan peralihan pengawasan ke OJK, Hasan menyampaikan aspek regulasi akan lebih menyeluruh, mencakup pengawasan terhadap transaksi, produk, layanan, risiko, tata kelola, serta integrasi dengan sektor keuangan lainnya.
Menurut Hasan perlindungan konsumen menjadi fokus utama OJK, dengan harapan agar regulasi kripto dapat lebih terintegrasi dan mendukung stabilitas sistem keuangan.
"OJK juga tentu ingin memastikan bahwa kegiatan kripto dapat beroperasi dalam kerangka yang lebih aligning, lebih selaras, dengan prinsip-prinsip stabilitas sistem keuangan," tuturnya.
Hingga November 2024, jumlah investor kripto di Indonesia tercatat mencapai 22,11 juta, dengan total transaksi mencapai Rp556,53 triliun, mencatatkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.