JAKARTA, Cobisnis.com – Istilah saham gorengan masih sering terdengar di kalangan pelaku pasar modal Indonesia. Sebutan ini merujuk pada saham yang pergerakan harganya mudah naik dan turun tajam dalam waktu singkat, tanpa didukung kinerja fundamental yang kuat.
Saham jenis ini umumnya memiliki harga relatif rendah dengan likuiditas yang bisa berubah drastis. Dalam waktu singkat, transaksi bisa terlihat sangat ramai, lalu mendadak sepi ketika tekanan jual muncul.
Pergerakan harga saham gorengan biasanya dipicu oleh sentimen jangka pendek. Informasi di media sosial, grup diskusi, hingga rekomendasi tidak resmi kerap menjadi pendorong utama lonjakan harga.
Secara ekonomi, kondisi ini mencerminkan perilaku spekulatif investor ritel yang masih mendominasi transaksi saham berkapitalisasi kecil. Harapan keuntungan cepat sering mengalahkan pertimbangan risiko jangka panjang.
Risiko utama saham gorengan terletak pada volatilitas ekstrem. Harga dapat naik beberapa hari berturut-turut, namun berbalik turun tajam hingga menyentuh auto reject bawah dalam waktu singkat.
Dari sisi likuiditas, saham gorengan rentan membuat investor sulit keluar. Ketika minat beli menghilang, antrean jual bisa menumpuk tanpa penyerapan yang memadai.
Fenomena ini juga berkaitan dengan literasi keuangan. Masih banyak investor pemula yang masuk tanpa memahami karakter saham yang dibeli, sehingga rentan terjebak di harga puncak.
Regulator pasar modal sendiri terus mendorong perdagangan yang wajar dan transparan. Mekanisme pengawasan diterapkan untuk meminimalkan praktik manipulasi harga, meski risiko tetap melekat pada saham berlikuiditas kecil.
Bagi trader berpengalaman, saham gorengan kerap dianggap sebagai instrumen spekulasi jangka pendek. Namun, strategi ini menuntut disiplin tinggi, manajemen risiko ketat, dan kesiapan mental menghadapi kerugian.
Secara keseluruhan, saham gorengan bukan instrumen yang cocok untuk semua investor. Tanpa pemahaman dan strategi yang tepat, potensi kerugian justru lebih besar dibanding peluang keuntungan.