JAKARTA, Cobisnis.com - Bank Indonesia (BI) luncurkan buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) No. 43, Edisi September 2024 dengan tema “Menjaga Resiliensi, Melanjutkan Momentum Pertumbuhan.
Deputi Gubernur BI Juda Agung menyampaikan, peluncuran buku KSK ini dilakukan setiap semester dan ini menjadi yang ke 43 guna memberikan sistem peringatan dini kepada sektor keuangan apa saja yang dapat disiapkan dalam menghadapi ketidakpastian global dan domestik.
"Kajian Stabilitas Keuangan ini kita luncurkan setiap semesteran. Tujuannya adalah memberikan early warning kepada sektor keuangan, pada pelaku di industri keuangan, risiko-risiko apa saja yang kita hadapi dan bagaimana kita menyikapi dari risiko-risiko yang ada " ujarnya dalam peluncuruan buku kajian stabilitas keuangan no 43 dan kalkulator hijau, Rabu, 2 Oktober.
Juda menyampaikan, terdapat beberapa risiko-risiko yang dapat mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Indonesia yaitu pertama yang akan dihadapi berasal dari kondisi global dimana dapat memanfaatkan siklus keuangan global yang longgar untuk mendapatkan pembiayaan yang produktif.
“Karena di tahun-tahun ke depan tentunya kebutuhan akan pembiayaan ekonomi semakin berkembang,” tuturnya.
Selanjutnya risiko kedua berasal dari perkembangan digitalisasi keuangan dimana terdapat kejahatan siber seperti peretasan, malware, ransomware, dan phising.
“Yang kemudian menimbulkan risiko keamanan bagi data pelanggan dan kepercayaan terhadap integritas dari sistem keuangan kita,” ucapnya.
Juda menambahkan, terdapat peningkatan risiko fraud dalam pemanfaatan platform digital seperti pencurian identitas, transaksi palsu, manipulasi data, judi online, dan beberapa penipuan daring lainnya.
Sebab itu, Juda menyampaikan pihaknya terus memperkuat sistem deteksi terhadap terjadinya fraud pada sektor keuangan dengan memanfaatkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence untuk dapat mendeteksi praktik fraud.
“Ada pola-pola tertentu yang kita bisa amati dengan menggunakan AI. Misalnya beli bubur ayam, beli bubur ayam tengah malam seribu kali dengan jumlah yang sama. Itu kan jelas sesuatu yang perlu dicurigai. Anomali, sehingga ini kita deteksi sebagainya. Itu salah satu contoh, ada banyak,” tuturnya.
Selain itu, Juda juga mewaspadai risiko operasional yang ditimbulkan oleh layanan pihak ketiga penyedia teknologi kritikal lantaran infrastruktur sektor keuangan banyak yang bergantung pada penyedia teknologi yang berpotensi menimbulkan risiko di sistem keuangan.
Menurut Juda, tantangan berikutnya yaitu perubahan iklim dimana dampak tersebut tidak hanya menyebabkan bencana alam saja, tetapi juga mengarah pada risiko transisi.
“Seperti penurunan nilai aset berbasis energi fosil. Ataupun kesulitan pendanaan akibat aktivitas bisnis yang bersifat ‘brown’ [tidak ramah lingkungan],” katanya.
Bank Indonesia, kata Juda, akan melanjutkan kebijakan makroprudensial akomodatif dan memberikan ruang bagi pembiayaan, serta penguatan sinergi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dengan tetap menjaga ketahanan sistem keuangan.
Selain itu, kebijakan makroprudensial longgar masih akan ditempuh untuk mendukung akselerasi kredit atau pembiayaan kepada dunia usaha dan rumah tangga dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian.
Kemudian, bauran kebijakan makroprudensial dilanjutkan melalui berbagai instrumen sesuai dengan sasaran kredit/pembiayaan yang optimal, ketahanan sistem keuangan, serta keuangan yang inklusif dan hijau.
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bauran kebijakan makroprudensial, Bank Indonesia juga melanjutkan pengawasan secara tidak langsung (surveilans) dan pengawasan langsung (pemeriksaan) secara tematik untuk memastikan pelaksanaan dan implementasi kebijakan makroprudensial.
Bank Indonesia akan terus melakukan koordinasi dan sinergi dengan otoritas di sektor keuangan dalam rangka meningkatkan efektivitas kebijakan guna mendukung stabilitas sistem keuangan dan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan.
Deputi Gubernur BI Juda Agung menyampaikan, peluncuran buku KSK ini dilakukan setiap semester dan ini menjadi yang ke 43 guna memberikan sistem peringatan dini kepada sektor keuangan apa saja yang dapat disiapkan dalam menghadapi ketidakpastian global dan domestik.
"Kajian Stabilitas Keuangan ini kita luncurkan setiap semesteran. Tujuannya adalah memberikan early warning kepada sektor keuangan, pada pelaku di industri keuangan, risiko-risiko apa saja yang kita hadapi dan bagaimana kita menyikapi dari risiko-risiko yang ada " ujarnya dalam peluncuruan buku kajian stabilitas keuangan no 43 dan kalkulator hijau, Rabu, 2 Oktober.
Juda menyampaikan, terdapat beberapa risiko-risiko yang dapat mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Indonesia yaitu pertama yang akan dihadapi berasal dari kondisi global dimana dapat memanfaatkan siklus keuangan global yang longgar untuk mendapatkan pembiayaan yang produktif.
“Karena di tahun-tahun ke depan tentunya kebutuhan akan pembiayaan ekonomi semakin berkembang,” tuturnya.
Selanjutnya risiko kedua berasal dari perkembangan digitalisasi keuangan dimana terdapat kejahatan siber seperti peretasan, malware, ransomware, dan phising.
“Yang kemudian menimbulkan risiko keamanan bagi data pelanggan dan kepercayaan terhadap integritas dari sistem keuangan kita,” ucapnya.
Juda menambahkan, terdapat peningkatan risiko fraud dalam pemanfaatan platform digital seperti pencurian identitas, transaksi palsu, manipulasi data, judi online, dan beberapa penipuan daring lainnya.
Sebab itu, Juda menyampaikan pihaknya terus memperkuat sistem deteksi terhadap terjadinya fraud pada sektor keuangan dengan memanfaatkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence untuk dapat mendeteksi praktik fraud.
“Ada pola-pola tertentu yang kita bisa amati dengan menggunakan AI. Misalnya beli bubur ayam, beli bubur ayam tengah malam seribu kali dengan jumlah yang sama. Itu kan jelas sesuatu yang perlu dicurigai. Anomali, sehingga ini kita deteksi sebagainya. Itu salah satu contoh, ada banyak,” tuturnya.
Selain itu, Juda juga mewaspadai risiko operasional yang ditimbulkan oleh layanan pihak ketiga penyedia teknologi kritikal lantaran infrastruktur sektor keuangan banyak yang bergantung pada penyedia teknologi yang berpotensi menimbulkan risiko di sistem keuangan.
Menurut Juda, tantangan berikutnya yaitu perubahan iklim dimana dampak tersebut tidak hanya menyebabkan bencana alam saja, tetapi juga mengarah pada risiko transisi.
“Seperti penurunan nilai aset berbasis energi fosil. Ataupun kesulitan pendanaan akibat aktivitas bisnis yang bersifat ‘brown’ [tidak ramah lingkungan],” katanya.
Bank Indonesia, kata Juda, akan melanjutkan kebijakan makroprudensial akomodatif dan memberikan ruang bagi pembiayaan, serta penguatan sinergi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dengan tetap menjaga ketahanan sistem keuangan.
Selain itu, kebijakan makroprudensial longgar masih akan ditempuh untuk mendukung akselerasi kredit atau pembiayaan kepada dunia usaha dan rumah tangga dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian.
Kemudian, bauran kebijakan makroprudensial dilanjutkan melalui berbagai instrumen sesuai dengan sasaran kredit/pembiayaan yang optimal, ketahanan sistem keuangan, serta keuangan yang inklusif dan hijau.
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bauran kebijakan makroprudensial, Bank Indonesia juga melanjutkan pengawasan secara tidak langsung (surveilans) dan pengawasan langsung (pemeriksaan) secara tematik untuk memastikan pelaksanaan dan implementasi kebijakan makroprudensial.
Bank Indonesia akan terus melakukan koordinasi dan sinergi dengan otoritas di sektor keuangan dalam rangka meningkatkan efektivitas kebijakan guna mendukung stabilitas sistem keuangan dan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan.