JAKARTA, Cobisnis.com – Bank investasi global Goldman Sachs memperkirakan harga minyak mentah jenis Brent berpotensi turun tajam hingga menyentuh kisaran US$50 per barel pada akhir 2026. Tekanan itu dipicu oleh potensi surplus pasokan minyak dunia yang semakin lebar di tahun depan.
Dalam riset terbarunya, Goldman Sachs menilai surplus produksi bisa mencapai rata-rata 1,8 juta barel per hari sepanjang kuartal IV-2025 hingga kuartal IV-2026. Kondisi ini diyakini bakal menambah stok minyak global hampir 800 juta barel dalam kurun waktu tersebut.
Meski ada proyeksi pelemahan jangka panjang, pergerakan harga minyak pada perdagangan Rabu (27/8/2025) relatif stabil. Kontrak Brent pengiriman Oktober tercatat naik tipis menjadi US$67,24 per barel, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) berada di level US$63,25 per barel. Sehari sebelumnya, kedua harga acuan ini sempat anjlok lebih dari 2% setelah menyentuh posisi tertinggi dalam dua pekan.
Pasar energi global saat ini masih dibayangi ketegangan geopolitik. Amerika Serikat berencana mengenakan tarif tambahan terhadap India, konsumen minyak terbesar ketiga dunia, terkait pembelian pasokan minyak dari Rusia. Namun, sejumlah perusahaan kilang India, termasuk Indian Oil dan Bharat Petroleum, disebut tetap melanjutkan impor minyak Rusia untuk periode September dan Oktober.
Menurut analis, kebijakan tarif tambahan dari AS belum cukup menghentikan arus pasokan Rusia ke India. “Pasar akan memantau secara ketat bagaimana aliran minyak Rusia ke India ke depan, untuk mengukur seberapa besar dampak tarif sekunder,” ujar Warren Patterson, Head of Commodity Strategy ING.
Prediksi Goldman Sachs ini menjadi sorotan pelaku pasar karena harga minyak yang lebih rendah dapat mengubah peta industri energi global, mulai dari strategi negara produsen hingga dinamika investasi di sektor energi.
Dalam riset terbarunya, Goldman Sachs menilai surplus produksi bisa mencapai rata-rata 1,8 juta barel per hari sepanjang kuartal IV-2025 hingga kuartal IV-2026. Kondisi ini diyakini bakal menambah stok minyak global hampir 800 juta barel dalam kurun waktu tersebut.
Meski ada proyeksi pelemahan jangka panjang, pergerakan harga minyak pada perdagangan Rabu (27/8/2025) relatif stabil. Kontrak Brent pengiriman Oktober tercatat naik tipis menjadi US$67,24 per barel, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) berada di level US$63,25 per barel. Sehari sebelumnya, kedua harga acuan ini sempat anjlok lebih dari 2% setelah menyentuh posisi tertinggi dalam dua pekan.
Pasar energi global saat ini masih dibayangi ketegangan geopolitik. Amerika Serikat berencana mengenakan tarif tambahan terhadap India, konsumen minyak terbesar ketiga dunia, terkait pembelian pasokan minyak dari Rusia. Namun, sejumlah perusahaan kilang India, termasuk Indian Oil dan Bharat Petroleum, disebut tetap melanjutkan impor minyak Rusia untuk periode September dan Oktober.
Menurut analis, kebijakan tarif tambahan dari AS belum cukup menghentikan arus pasokan Rusia ke India. “Pasar akan memantau secara ketat bagaimana aliran minyak Rusia ke India ke depan, untuk mengukur seberapa besar dampak tarif sekunder,” ujar Warren Patterson, Head of Commodity Strategy ING.
Prediksi Goldman Sachs ini menjadi sorotan pelaku pasar karena harga minyak yang lebih rendah dapat mengubah peta industri energi global, mulai dari strategi negara produsen hingga dinamika investasi di sektor energi.