Jamkrindo

Inggris Mau Hapus Sidang Juri untuk Banyak Kejahatan, Penentang Khawatir Hak Kuno Hilang

Oleh Zahra Zahwa pada 24 Dec 2025, 07:08 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Pemerintah Inggris berencana membatasi hak terdakwa untuk diadili melalui sidang juri dalam berbagai kasus pidana, langkah yang memicu kekhawatiran luas akan hilangnya salah satu hak hukum tertua di negara tersebut. Rencana ini muncul di tengah krisis penumpukan perkara pidana yang belum disidangkan dan dinilai mengancam keadilan bagi terdakwa maupun korban.

Reformasi yang diumumkan Menteri Kehakiman Inggris David Lammy itu mencakup pembentukan pengadilan baru tanpa juri yang bersifat “cepat”, untuk menangani perkara dengan ancaman hukuman maksimal tiga tahun penjara. Kasus seperti penipuan, perampokan, dan pelanggaran narkotika yang sebelumnya ditangani Pengadilan Mahkota (Crown Court) akan dialihkan ke pengadilan baru tersebut.

Namun, kejahatan berat seperti pemerkosaan, pembunuhan, pembunuhan tidak berencana, perdagangan manusia, penganiayaan berat, serta perkara yang dianggap menyangkut “kepentingan publik” tetap akan disidangkan dengan juri. Reformasi ini tidak berlaku di Skotlandia dan Irlandia Utara, serta tidak memengaruhi pelanggaran ringan seperti lalu lintas dan ketertiban umum yang memang sejak lama diproses tanpa juri.

Sistem peradilan pidana Inggris saat ini menghadapi beban berat dengan hampir 80.000 perkara menumpuk di Pengadilan Mahkota, angka yang diperkirakan bisa melonjak hingga 100.000 kasus pada 2028. Dari jumlah itu, lebih dari 13.000 merupakan perkara kejahatan seksual. Banyak korban harus menunggu hingga tiga atau empat tahun untuk mendapatkan persidangan.

Laporan Komisioner Korban Inggris yang dirilis Oktober lalu menggambarkan sistem peradilan pidana yang kewalahan dan semakin kehilangan kepercayaan publik. Sejumlah korban mengaku keadilan terasa mustahil diraih akibat keterbatasan kapasitas pengadilan dan penundaan yang berulang.

Pemerintah membela kebijakan ini dengan alasan mempercepat proses hukum. Menteri negara bidang pengadilan dan layanan hukum, Sarah Sackman, menegaskan bahwa “keadilan yang tertunda sama dengan keadilan yang ditolak”.

Namun, penolakan datang dari berbagai pihak. Sejumlah pakar hukum dan politisi menilai sidang juri adalah pilar demokrasi Inggris yang akarnya dapat ditelusuri hingga Magna Carta abad ke-13. Jajak pendapat YouGov pada November 2025 menunjukkan 54% warga Inggris lebih memilih diadili oleh juri jika mereka dituduh melakukan kejahatan.

Kritik juga menyoroti potensi meningkatnya bias jika persidangan hanya diputus oleh hakim. Sidang juri dinilai menghadirkan keberagaman latar belakang, usia, dan etnis yang dapat menjadi penyeimbang serta “penyaring prasangka”. Hal ini sejalan dengan temuan tinjauan independen tahun 2017 tentang perlakuan terhadap kelompok minoritas, yang menyimpulkan bahwa sidang juri cenderung menghasilkan putusan lebih adil dibanding sidang tanpa juri.

Di sisi lain, sebagian organisasi korban kejahatan seksual justru mendorong reformasi lebih jauh, termasuk uji coba sidang tanpa juri untuk kasus kejahatan seksual, dengan alasan proses panjang dan penundaan berulang kerap membuat korban trauma ulang hingga menarik diri dari tuntutan hukum.

Meski pemerintah berharap reformasi ini akan mengurangi waktu tunggu bagi perkara serius, para pengkritik menilai belum ada bukti kuat bahwa pembatasan sidang juri benar-benar akan meningkatkan efisiensi sistem peradilan.