Jamkrindo

Jangan Anggap Remeh Mata Merah, JEC Tekankan Risiko Uveitis dan Kebutaan Permanen

Oleh Dwi Natasya pada 17 Sep 2025, 18:53 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Gangguan pada retina, termasuk akibat peradangan seperti uveitis, kerap mengancam secara diam-diam. Gejala mata merah dan pandangan kabur sering dianggap sepele, padahal jika terlambat ditangani dapat menyebabkan kerusakan retina permanen hingga kebutaan. Momentum World Retina Day 2025 pada September ini menjadi peringatan penting untuk meningkatkan kesadaran publik.

Retina berperan vital sebagai penghubung cahaya yang masuk ke mata dengan otak. Gangguan sekecil apa pun pada retina berpotensi mengacaukan sistem penglihatan secara keseluruhan. Uveitis, keratitis, maupun skleritis adalah contoh inflamasi mata yang dapat merusak retina. Dampaknya bisa signifikan, bahkan mempengaruhi produktivitas ekonomi masyarakat akibat hilangnya fungsi penglihatan.

Uveitis sendiri paling sering menyerang kelompok usia produktif 20–60 tahun, dan menyumbang 25% angka kebutaan di negara berkembang. Hal ini menunjukkan beban ekonomi kesehatan yang besar, terutama bagi negara dengan sistem jaminan kesehatan publik. Di Indonesia, penyebab utama uveitis adalah penyakit infeksi sistemik seperti tuberkulosis dan toksoplasma, serta gangguan autoimun.

Lebih dari itu, penelitian menunjukkan 48–70% kasus uveitis bersifat idiopatik atau tidak diketahui penyebab pastinya. Ketidakpastian ini membuat beban biaya diagnostik dan terapi meningkat, sekaligus menunjukkan perlunya teknologi medis berstandar tinggi. Tanpa penanganan dini, uveitis dapat berujung pada komplikasi serius seperti glaukoma, katarak, hingga kebutaan permanen.

Menurut Dr. Eka Octaviani Budiningtyas, SpM, Dokter Sub Spesialis Ocular Infection and Immunology JEC Eye Hospitals and Clinics, minimnya gejala awal membuat pasien sering terlambat memeriksakan mata. Padahal deteksi dini menjadi kunci untuk mencegah kerusakan retina lebih lanjut. Ia menekankan bahwa koordinasi antarprofesi medis diperlukan agar terapi lebih berhasil dan risiko ekonomi pasien lebih rendah.

Secara medis, tata laksana uveitis melibatkan pemeriksaan lengkap seperti slit-lamp, pencitraan mata, hingga tes darah. Terapi diberikan sesuai kondisi pasien, mulai dari tetes kortikosteroid, obat pelebar pupil, hingga imunosupresan dan antibiotik. Teknologi ini memerlukan investasi besar di sektor kesehatan, namun hasilnya dapat mengurangi beban sosial ekonomi akibat kebutaan.

Gangguan retina secara global juga menjadi penyebab utama kebutaan. WHO mencatat 196 juta orang mengalami degenerasi makula, sementara 146 juta menderita retinopati diabetik. Di Indonesia, prevalensi retinopati diabetik mencapai 43,1%. Angka ini selaras dengan meningkatnya kasus diabetes yang memberi dampak langsung terhadap biaya kesehatan nasional.

Sebagai pemimpin layanan mata di Indonesia, JEC Eye Hospitals and Clinics menghadirkan penanganan retina di seluruh 16 cabang dengan standar pelayanan terintegrasi. Layanan mencakup terapi laser, injeksi retina, hingga operasi retina. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana sektor kesehatan swasta berperan menopang sistem nasional dalam mengurangi angka kebutaan.

RS Mata JEC @ Menteng menempatkan layanan retina secara tersentralisasi melalui JEC Retina Center. Dengan 15 pemeriksaan diagnostik berteknologi tinggi dan dukungan 11 dokter subspesialis retina, rumah sakit ini sudah menangani lebih dari 12 ribu pasien gangguan retina dalam tiga tahun terakhir. Skala pelayanan ini sekaligus menjadi indikator permintaan tinggi di pasar layanan kesehatan mata.

Menurut Dr. Referano Agustiawan, SpM(K), Direktur Utama RS Mata JEC @ Menteng, pihaknya berkomitmen memberikan layanan retina komprehensif berbasis keahlian dan teknologi canggih. Komitmen ini bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga berimplikasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dan efisiensi ekonomi akibat menurunnya angka kebutaan produktif