JAKARTA, Cobisnis.com – Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth pada Minggu (22/9) memerintahkan pengerahan 200 tentara Garda Nasional Oregon di bawah otoritas federal, menyusul langkah Presiden Donald Trump yang mengirim pasukan militer ke kota Portland, negara bagian Oregon.
Trump, presiden dari Partai Republik, sehari sebelumnya mengumumkan rencana pengerahan pasukan ke Portland dengan alasan untuk melindungi fasilitas imigrasi federal dari apa yang disebutnya sebagai "teroris domestik." Ia juga menegaskan bahwa pasukan diizinkan menggunakan “kekuatan penuh jika diperlukan.”
Langkah Trump mengirim pasukan ke kota-kota yang dipimpin Partai Demokrat, termasuk Los Angeles dan Washington D.C., sebelumnya telah memicu protes serta gugatan hukum.
Negara Bagian Oregon sendiri pada Minggu melayangkan gugatan di pengadilan federal Portland terhadap Trump, Menteri Pertahanan Pete Hegseth, dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem. Jaksa Agung Oregon, Dan Rayfield dari Partai Demokrat, menilai Trump telah melampaui kewenangannya.
“Dengan dalih yang tidak berdasar dan hiperbolik Presiden mengatakan Portland adalah kota yang ‘hancur perang’ dan ‘dikepung’ teroris domestik. Para tergugat telah melanggar kedaulatan Oregon untuk mengelola penegakan hukum dan sumber daya Garda Nasionalnya sendiri,” demikian isi gugatan.
Gugatan tersebut juga menyebut bahwa protes terhadap lembaga Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) di Portland sejak Juni relatif kecil dan terkendali.
Menurut enam pejabat AS yang berbicara kepada Reuters secara anonim, rencana pengerahan ini bahkan mengejutkan banyak pihak di Pentagon. Hegseth kemudian menandatangani memo resmi untuk mengerahkan 200 tentara Garda Nasional Oregon, yang terungkap ke publik setelah dilampirkan dalam gugatan hukum negara bagian.
Jaksa Agung Rayfield mengkritik keras keputusan ini. “Mengirim 200 tentara Garda Nasional hanya untuk menjaga satu gedung bukanlah hal yang normal,” katanya, merujuk pada fasilitas ICE.
Data awal Laporan Kejahatan Kekerasan Pertengahan Tahun 2025 yang dirilis Major Cities Chiefs Association menunjukkan tingkat kejahatan di Portland justru menurun. Angka pembunuhan turun hingga 51% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Namun sejak kembali menjabat pada Januari, Trump menjadikan isu kejahatan sebagai fokus utama pemerintahannya, meski angka kejahatan di banyak kota AS cenderung menurun.
Kasus ini mengingatkan pada 2020 ketika protes besar meletus di Portland pasca pembunuhan George Floyd oleh polisi kulit putih di Minneapolis. Kala itu, pengerahan pasukan federal oleh Trump justru dianggap memperburuk situasi.
Sejauh ini belum jelas apakah peringatan Trump soal penggunaan “kekuatan penuh” juga berarti memberi otorisasi penggunaan kekuatan mematikan, dan jika iya, dalam kondisi apa. Secara hukum, pasukan AS memang diperbolehkan menggunakan kekuatan untuk membela diri dalam penugasan domestik.
Wali Kota Portland, Keith Wilson, mengaku baru mengetahui perintah pengerahan pasukan itu melalui media sosial pada Sabtu malam. Sejumlah pejabat Pentagon juga mengaku terkejut.
“Itu seperti petir di siang bolong,” kata salah seorang pejabat AS, menambahkan bahwa sebelumnya militer hanya fokus pada rencana kontinjensi untuk potensi pengerahan pasukan ke kota lain seperti Chicago dan Memphis.
Ketegangan politik makin meningkat di sejumlah kota besar AS terkait kebijakan imigrasi keras Trump, beberapa hari setelah insiden penembakan di fasilitas ICE Dallas yang menewaskan satu tahanan dan melukai dua orang lainnya.