JAKARTA, Cobisnis.com – Pertumbuhan ekonomi sering dijadikan indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Namun, di balik angka pertumbuhan yang meningkat, masih banyak masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu berarti kesejahteraan yang merata bagi semua lapisan masyarakat.
Sebagian besar pertumbuhan ekonomi terjadi di sektor-sektor yang dikuasai oleh kelompok berdaya modal besar. Ketimpangan distribusi pendapatan membuat keuntungan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang. Akibatnya, sebagian masyarakat tetap tertinggal meski perekonomian nasional membaik.
Kesenjangan pendapatan menjadi salah satu penyebab utama ketimpangan ini. Mereka yang memiliki aset seperti tanah, bisnis, atau saham cenderung lebih cepat meningkatkan kekayaannya dibandingkan pekerja bergaji tetap. Sementara masyarakat berpenghasilan rendah hanya merasakan dampak pertumbuhan dalam skala kecil.
Keterbatasan pendidikan dan keterampilan juga menjadi hambatan utama. Banyak kelompok masyarakat miskin tidak memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja modern, seperti keahlian digital dan teknis. Hal ini membuat mereka sulit naik kelas secara ekonomi meski lapangan kerja baru bermunculan.
Selain itu, akses terhadap modal, teknologi, dan jaringan bisnis masih timpang. Masyarakat di daerah terpencil sering kali tidak memiliki fasilitas atau dukungan yang sama seperti di perkotaan. Ketimpangan infrastruktur ekonomi inilah yang memperlambat pemerataan kesejahteraan.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat juga sering diikuti oleh kenaikan harga barang dan jasa. Inflasi yang tidak seimbang dengan kenaikan pendapatan membuat daya beli masyarakat menurun. Meskipun ekonomi tumbuh, sebagian orang justru merasa hidupnya makin berat.
Dari sisi kebijakan, belum semua strategi pembangunan bersifat inklusif. Banyak program ekonomi yang masih berorientasi pada sektor besar, bukan pada penguatan ekonomi rakyat kecil. Tanpa kebijakan redistribusi dan peningkatan akses ekonomi, jurang antara kaya dan miskin akan semakin lebar.
Literasi keuangan yang rendah turut memperburuk situasi. Banyak masyarakat tidak memahami cara mengelola pendapatan, menabung, atau menghindari utang konsumtif. Akibatnya, mereka sulit keluar dari lingkaran kemiskinan meski peluang ekonomi terbuka.
Kemiskinan juga sering bersifat struktural dan turun-temurun. Keluarga miskin umumnya memiliki akses terbatas ke pendidikan dan kesehatan, sehingga anak-anak mereka berisiko mengalami nasib serupa. Siklus ini dikenal sebagai poverty trap atau jebakan kemiskinan.
Untuk mengatasinya, para ekonom menekankan pentingnya pertumbuhan inklusif pertumbuhan yang melibatkan semua lapisan masyarakat dalam proses ekonomi. Akses pendidikan, pelatihan, dan modal usaha menjadi kunci agar pertumbuhan benar-benar menciptakan kesejahteraan yang merata.