JAKARTA, Cobisnis.com – Fenomena manusia modern yang semakin takut gagal bukan sekadar isu psikologis, tapi hasil dari perubahan budaya, teknologi, dan tekanan sosial yang terus meningkat. Di era serba cepat dan serba terlihat seperti sekarang, kegagalan bukan cuma soal salah langkah, tapi dianggap sebagai sebuah “aib” yang bisa disaksikan banyak orang. Kondisi ini membuat banyak orang lebih memilih diam daripada mencoba hal baru.
Salah satu faktor terbesar adalah tekanan dari media sosial. Hidup orang lain terlihat begitu mulus, indah, dan penuh pencapaian. Saat membandingkan diri dengan standar sempurna tersebut, kegagalan terasa jauh lebih memalukan. Akibatnya, banyak orang menahan diri, takut terlihat tidak cukup baik, dan akhirnya tidak pernah memulai apapun.
Selain itu, sistem pendidikan dan pola asuh di masa lalu juga membentuk pola pikir bahwa kegagalan adalah sesuatu yang harus dihindari. Nilai jelek dianggap sebagai bencana, bukan proses belajar. Pola pikir ini terbawa hingga dewasa, menjadikan generasi modern sangat sensitif terhadap risiko. Mereka ingin memastikan semuanya sempurna dulu sebelum mulai, padahal kesempurnaan sering kali baru tercapai setelah mencoba berulang kali.
Lingkungan kerja yang kompetitif juga memperkuat ketakutan ini. Banyak perusahaan menuntut kinerja tinggi, cepat, dan tanpa kesalahan. Karyawan jadi takut mengambil keputusan yang berbeda atau inovatif karena takut disalahkan jika hasilnya tidak berhasil. Akibatnya, kreativitas menurun dan budaya “main aman” makin kuat.
Ketakutan gagal juga dipengaruhi oleh rasa ingin mempertahankan citra diri. Manusia modern cenderung membangun identitas berdasarkan pencapaian. Gagal berarti merusak narasi yang sudah dibangun. Mereka takut label “tidak kompeten,” “tidak berbakat,” atau “tidak cukup hebat” melekat dari satu kesalahan kecil saja.
Namun, ketakutan ini ironisnya membuat banyak potensi tidak berkembang. Mereka yang selalu menunda karena takut gagal justru kehilangan kesempatan untuk tumbuh. Padahal, proses trial and error adalah kunci kemajuan. Banyak inovasi besar lahir dari keberanian mengambil risiko, bukan dari zona aman.
Untuk keluar dari lingkaran “takut gagal,” manusia modern perlu mengubah cara pandang: kegagalan bukan tanda akhir, tapi bagian dari proses. Alih-alih fokus pada apa yang bisa salah, penting untuk melihat kemungkinan apa yang bisa tumbuh dari percobaan pertama, kedua, atau keseratus. Dengan cara ini, keberanian untuk mencoba bisa kembali tumbuh di tengah tekanan zaman.
Pada akhirnya, ketakutan gagal hanyalah bayangan yang membesar karena kita terus menatapnya. Semakin berani mengambil langkah pertama, semakin kecil bayangan itu terlihat.