JAKARTA, Cobisnis.com – Time poverty atau “kemiskinan waktu” adalah kondisi ketika seseorang merasa tidak punya cukup waktu untuk melakukan hal-hal yang penting dalam hidupnya. Menariknya, fenomena ini justru meningkat di era modern—padahal teknologi sudah mempermudah banyak pekerjaan. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada jumlah waktu, tetapi pada bagaimana waktu dialokasikan dan tekanan hidup yang terus meningkat.
Di masyarakat tradisional, aktivitas sehari-hari memang lebih berat, tetapi ritmenya lebih jelas dan stabil. Sementara itu, manusia modern hidup dalam sistem yang bergerak cepat, penuh transisi, dan sarat tuntutan. Akibatnya, meskipun punya fasilitas yang lebih efisien, rasa “tidak punya waktu” tetap muncul dan bahkan semakin kuat.
Salah satu penyebab time poverty adalah kultur produktivitas berlebihan. Banyak orang merasa harus terus mencapai sesuatu—lebih kaya, lebih sukses, lebih sibuk. Kesibukan seakan menjadi simbol status, sehingga waktu luang dianggap kurang bernilai. Pola pikir ini membuat manusia modern mengisi harinya dengan aktivitas tanpa henti, sampai sulit menemukan ruang untuk istirahat mental.
Teknologi juga punya peran besar dalam menciptakan time poverty. Alih-alih memotong waktu kerja, teknologi justru membuat pekerjaan menempel terus di kehidupan pribadi. Chat kerja bisa masuk kapan saja, notifikasi tidak pernah berhenti, dan batas antara waktu kerja serta waktu istirahat makin kabur. Pada akhirnya, waktu kosong yang seharusnya untuk hobi atau keluarga tersedot tanpa disadari.
Selain itu, pilihan hidup yang semakin kompleks ikut menambah tekanan waktu. Generasi modern harus mengatur lebih banyak hal: karier, pengembangan diri, kesehatan mental, sosial, keuangan, serta gaya hidup. Banyaknya tuntutan ini membuat waktu terasa tidak cukup, meskipun aktivitasnya tidak selalu berat secara fisik.
Time poverty juga diperburuk oleh ekonomi yang makin kompetitif. Untuk bertahan, banyak orang harus bekerja lebih keras dan lebih lama. Jam kerja panjang, perjalanan jauh, hingga biaya hidup yang tinggi membuat waktu pribadi tergerus sedikit demi sedikit. Kondisi ini akhirnya menciptakan kelelahan kronis yang sulit dipulihkan.
Dampaknya, time poverty tidak hanya memengaruhi produktivitas, tapi juga kualitas hidup. Orang yang merasa kekurangan waktu cenderung lebih stres, kurang bahagia, dan sulit menikmati momen. Mereka sering melewatkan aktivitas penting seperti istirahat berkualitas, interaksi sosial, atau sekadar waktu diam tanpa distraksi.
Pada akhirnya, time poverty adalah masalah modern yang muncul ketika manusia kehilangan kendali atas waktunya sendiri. Solusinya bukan sekadar mengatur jadwal, tetapi memahami prioritas, menetapkan batas, dan memberi nilai lebih pada waktu luang. Ketika seseorang bisa mengelola waktunya dengan sadar, rasa cukup dan kendali hidup pun perlahan kembali.