JAKARTA, Cobisnis.com – Amerika Serikat kembali dinobatkan sebagai negara dengan kekuatan militer paling besar di dunia tahun 2025. Posisi ini bukan hal baru. Selama puluhan tahun, Negeri Paman Sam terus mempertahankan dominasinya lewat teknologi, strategi global, dan anggaran pertahanan yang gak main-main.
Kekuatan militer AS disebut “tak tertandingi” oleh banyak analis global. Dengan anggaran pertahanan mencapai lebih dari US$ 880 miliar per tahun, Amerika unggul jauh dibanding negara lain. Jumlah itu bahkan lebih besar dari gabungan belasan negara besar di Eropa.
Bukan cuma soal uang. AS punya sekitar 1,3 juta personel aktif dan 800 ribu cadangan, tersebar di lebih dari 750 pangkalan militer di luar negeri. Dari Timur Tengah sampai Pasifik, bendera Amerika berkibar di banyak wilayah strategis dunia.
Kekuatan udara AS juga jadi legenda. Armada pesawat tempur mereka mencakup F-22 Raptor dan F-35 Lightning II dua jet siluman tercanggih di planet ini. Di laut, Angkatan Laut AS mengoperasikan 11 kapal induk raksasa, sementara negara lain kebanyakan cuma punya satu atau dua.
Selain kekuatan konvensional, Amerika juga punya arsenal nuklir besar dan sistem pertahanan canggih berbasis satelit. Teknologi intelijen mereka bahkan mampu memantau pergerakan militer musuh dari luar angkasa.
Tapi dominasi ini bukan tanpa tantangan. China terus memperkuat armada laut dan rudalnya, sementara Rusia masih jadi ancaman lewat kekuatan nuklir dan operasi taktisnya. Meski begitu, AS tetap unggul dari segi logistik, inovasi, dan kekuatan global.
Banyak analis menilai, kekuatan militer AS gak cuma soal perang, tapi juga pengaruh ekonomi dan diplomasi. Dengan kekuatan global itu, mereka bisa menentukan arah politik dunia, dari keamanan energi sampai kebijakan luar negeri negara lain.
Namun, biaya besar yang dikeluarkan untuk militer juga sering dikritik. Warga Amerika mempertanyakan kenapa triliunan dolar habis buat perang, sementara masalah domestik seperti pendidikan dan kesehatan belum tuntas.
Meski begitu, AS tetap memegang prinsip “si vis pacem, para bellum” jika ingin damai, bersiaplah untuk perang. Selama rivalnya terus berkembang, Amerika sepertinya belum akan menurunkan standar kekuatan militernya.
Bagi dunia, dominasi militer AS bisa jadi pedang bermata dua: di satu sisi menjaga stabilitas global, tapi di sisi lain bisa memicu ketegangan baru kalau kekuatan itu disalahgunakan.