Jamkrindo

Benarkah Kelapa Sawit Penyebab Bencana Ekologis, Ini Kata Peneliti

Oleh M.Dhayfan Al-ghiffari pada 24 Dec 2025, 17:09 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat amat memukul kesadaran publik. Sayangnya, secara amat terburu-buru kelapa sawit dijadikan kambing hitam. Bencana hidrometeorologi akhir November lalu bukan sekadar rangkaian peristiwa alam.

“Isu bencana sering digoreng menjadi tudingan deforestasi sawit, padahal persoalannya lebih sistemik,” ujar Dr. Rasminto. Menurut Direktur Eksekutif Human Studies Institute itu, persoalan sesungguhnya adalah kebijakan pasca-Reformasi yang permisif terhadap deforestasi dan praktik ekstraktif baik tambang, migas, maupun perkebunan atas nama pertumbuhan ekonomi.

Demikian butir pemikiran yang disampaikan Dr. Rasminto dalam diskusi kebangsaan yang terbuka secara umum pada Selasa (23/12) dengan judul “Quo Vadis Konstitusi dan Krisis Ekologis: Belajar dari Bencana Hidrometeorologi Sumatera”. Selain Dr. Rasminto, materi diskusi juga diisi peneliti dan senior lecturer Dr. Ir. Siti Maimunah, S. Hut., IPU, ASEAN Eng.

Dr. Rasminto mengapresiasi langkah awal pemerintahan Prabowo Subianto yang dinilai tegas. Melalui Kementerian Kehutanan, pemerintah mencabut izin pemanfaatan hutan hingga sekitar 750 ribu hektar. Selain itu, sejak Februari 2025, 18 izin PBPH dengan luasan lebih dari setengah juta hektar juga dicabut. “Ini sinyal bahwa regulasi kehutanan tidak bisa ditawar,” katanya.

Penguatan penegakan hukum diperkuat dengan terbitnya Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan dan pembentukan Satgas PKH. Hingga kini, lebih dari 3,7 juta hektar kawasan hutan telah ditetapkan kembali. Langkah ini, menurut Rasminto, turut memengaruhi aktor-aktor besar, termasuk oligarki di sektor sawit, tambang, dan migas.

Namun ia mengingatkan, perlawanan muncul melalui disinformasi, akun palsu lintas platform, serangan personal, hingga pengaburan isu kebencanaan. “Percuma bicara konstitusi dan krisis ekologi jika penegakan hukumnya dikalahkan oleh kepentingan sempit,” ujarnya.

Rasminto menutup dengan seruan agar konstitusi benar-benar ditegakkan. Pasal 28H dan Pasal 33 UUD 1945, yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, harus menjadi pijakan nyata. Sawit, katanya, tidak harus selalu diposisikan sebagai masalah. Dengan penegakan hukum yang tegas dan tata kelola yang adil, sektor ini justru bisa menjadi bagian dari solusi pembangunan berkelanjutan.

Sementara itu, Dr. Siti Maimunah menegaskan bahwa bencana tidak bisa dibaca semata dari curah hujan atau geografi. “Kebencanaan harus dilihat dari pengertian dasar konstitusi dan krisis ekologis,” ujarnya. Sumatera, dengan rangkaian banjir, longsor, dan kekeringan ekstrem, menjadi contoh telanjang bagaimana konstitusi diuji dalam praktik. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang dijanjikan negara, menurut penerima Kalpataru 2017 itu, kerap berhenti sebagai teks.

Pengalaman lapangan membuat Siti tidak ingin menyederhanakan persoalan. Narasi yang menempatkan sawit sebagai biang tunggal bencana ekologis, menurut Siti, tidak utuh. Ia menekankan bahwa banjir dan longsor di Sumatera bukan semata akibat keberadaan kebun sawit, melainkan akumulasi kerusakan hutan di kawasan hulu akibat illegal logging, illegal mining, kebakaran hutan, serta salah kelola yang berlangsung bertahun-tahun.

“Ketika tutupan hutan rusak, air tidak lagi meresap. Erosi membawa material dalam jumlah besar. Bencana pun datang tiba-tiba,” katanya.

Siti juga mengkritik keras sisi kebijakan. Penegakan hukum dinilainya lemah. Alih fungsi lahan kerap terjadi, sementara dokumen lingkungan acap kali hanya formalitas perizinan bahkan menjadi komoditas politik. Dalam situasi seperti itu, perusahaan sawit atau investor sering menjadi sasaran tudingan, meski persoalan utamanya adalah sistem yang tidak tegas. “Jangan salahkan komoditasnya saja. Pemerintah harus bertanggung jawab memastikan regulasi dijalankan,” katanya.

Bencana, lanjut Siti, kerap diikuti saling tuding. Padahal akar masalahnya ada pada pembagian kawasan dan lemahnya pengawasan operasional. Pemerintah eksekutif, yudikatif, dan legislatif harus memimpin koreksi. “Kalau dimonitor dengan baik, banyak kerusakan bisa dicegah,” ujarnya.