Jamkrindo

Bukan Soal Kopi, Ini Alasan Starbucks Selalu Penuh Tiap Hari

Oleh M.Dhayfan Al-ghiffari pada 30 Oct 2025, 05:14 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Starbucks tetap ramai meski harga kopinya bisa tembus Rp80 ribu per gelas. Fenomena ini jadi bukti kuat kalau minum kopi kini bukan lagi soal rasa, tapi juga gaya hidup dan pengalaman yang menyertainya.

Brand asal Amerika ini berhasil menjual lebih dari sekadar minuman. Mereka menawarkan suasana, aroma, musik, hingga pelayanan yang konsisten di tiap cabang. Pelanggan datang bukan cuma untuk ngopi, tapi juga buat menikmati waktu santai, kerja, atau sekadar recharge sebelum aktivitas padat.

Dengan desain interior yang nyaman dan identitas visual yang kuat, Starbucks menciptakan pengalaman yang terasa premium. Di tengah hiruk pikuk kota, kedai ini jadi tempat singgah yang memberikan rasa tenang dan “kelas” tersendiri.

Harga yang mahal justru menambah citra eksklusif. Dalam psikologi konsumen, harga tinggi sering diartikan sebagai simbol kualitas. Bagi banyak orang, secangkir kopi mahal di Starbucks terasa sepadan dengan kenyamanan dan gengsi yang mereka dapat.

Selain itu, lokasi Starbucks selalu strategis. Gerainya mudah ditemui di mall, bandara, gedung perkantoran, sampai SPBU besar. Akses yang mudah bikin konsumen tak perlu berpikir dua kali untuk mampir, terutama saat butuh tempat rapat cepat atau meeting informal.

Citra premium juga jadi alasan lain. Starbucks identik dengan gaya hidup modern dan profesional. Nongkrong di sana sering dianggap bagian dari rutinitas orang sibuk, atau simbol produktivitas dan status sosial.

Konsistensi rasa dan pelayanan juga jadi kunci. Baik di Jakarta, Tokyo, atau New York, pelanggan akan merasakan standar yang sama. Konsistensi global ini menumbuhkan rasa percaya dan membuat pelanggan kembali lagi.

Dari sisi bisnis, Starbucks memanfaatkan teknologi dengan baik lewat aplikasi Starbucks Rewards. Program loyalti, promo digital, dan sistem pembayaran tanpa uang tunai membuat konsumen merasa lebih terhubung dan diakui sebagai bagian dari komunitas global.

Setiap peluncuran menu musiman atau edisi spesial juga memicu efek “FOMO” alias takut ketinggalan tren. Strategi ini sukses menjaga hype dan minat beli di tengah persaingan ketat industri kopi.

Kesimpulannya, Starbucks bukan cuma menjual kopi, tapi menjual pengalaman, gaya hidup, dan identitas sosial. Di era di mana citra dan kenyamanan punya nilai tinggi, secangkir kopi Rp80 ribu terasa bukan sekadar minuman, tapi bagian dari cerita hidup modern.