JAKARTA, Cobisnis.com – Di tengah sorotan soal utang dan kerugian, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh ternyata punya sisi lain yang jarang dibahas: biaya konstruksinya justru lebih murah dari MRT Jakarta.
Peneliti Senior Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang, menegaskan bahwa anggapan Whoosh terlalu mahal itu keliru. Ia menyebut data biaya konstruksi per kilometer Whoosh justru menunjukkan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan proyek MRT.
Menurut Deddy, MRT Jakarta Fase I menelan biaya Rp 1,1 triliun per kilometer, sementara MRT Fase II melonjak hingga Rp 2,2 triliun per kilometer. Bandingkan dengan Whoosh yang menghabiskan Rp 780 miliar per kilometer, sudah termasuk biaya lahan, akses, stasiun, jaringan listrik, hingga instalasi sistem komunikasi.
“Biaya Whoosh itu sudah mencakup komponen non-konstruksi yang nggak ada di perhitungan MRT. Jadi kalau dibandingin, Whoosh jauh lebih efisien,” jelas Deddy.
Pernyataan ini sejalan dengan apa yang pernah diungkapkan Presiden Jokowi saat masih menjabat. Jokowi menegaskan bahwa pembangunan Whoosh lebih hemat dibanding MRT, bahkan masih di bawah biaya pembangunan LRT.
Saat menghadiri Rakernas Apeksi di Balikpapan tahun 2024, Jokowi menyebut biaya MRT mencapai Rp 1,1 triliun per kilometer di awal, kini naik ke Rp 2,3 triliun. Sementara Whoosh hanya Rp 780 miliar per kilometer, dan LRT bahkan lebih murah lagi di kisaran Rp 600 miliar per kilometer.
Namun, Jokowi menegaskan, perbandingan biaya pembangunan itu gak sebanding dengan kerugian ekonomi akibat kemacetan yang menelan biaya sekitar Rp 100 triliun per tahun. Artinya, investasi transportasi massal tetap jauh lebih menguntungkan dalam jangka panjang.
Meski begitu, Deddy mengakui akar masalah Whoosh bukan di biaya konstruksi, melainkan di utang dan fluktuasi kurs dolar AS. Saat kontrak awal tahun 2015, kurs masih Rp 13.000 per USD. Kini, saat bunga mulai dibayar, kurs sudah mencapai Rp 16.000 per USD.
Kenaikan Rp 3.000 per dolar pada basis utang Rp 74 triliun membuat total pinjaman membengkak jadi Rp 119 triliun. Ditambah cost overrun Rp 18,2 triliun akibat pandemi dan keterlambatan lahan, beban keuangan proyek makin berat.
Deddy menilai energi publik seharusnya tak dihabiskan untuk memperdebatkan utang, tapi fokus pada solusi strategis penyelamatan BUMN yang tergabung dalam konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), seperti KAI, WIKA, Jasa Marga, dan PTPN.
Ia mengusulkan empat langkah besar: pertama, konversi utang dari USD ke Yuan agar stabil. Kedua, perpanjangan tenor pinjaman dari 40 jadi 60 tahun. Ketiga, ekspansi jalur ke Surabaya untuk mempercepat balik modal. Dan keempat, optimalisasi pendapatan non-tiket lewat pengembangan kawasan Transit Oriented Development (TOD) dan Transit Junction Development (TJD) di titik-titik strategis.
“Kalau TOD dan TJD jalan, Whoosh bisa punya sumber uang baru selain tiket. Itu yang bikin proyek jadi berkelanjutan,” ujar Deddy menutup.