JAKARTA, Cobisnis.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang untuk menerapkan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer dan kawan-kawan. Kemungkinan penerapan delik ini muncul setelah penyidik menemukan dan menyita banyak barang bukti berupa uang tunai serta puluhan kendaraan roda empat dan dua.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti setiap indikasi pencucian uang. "Ke depan tentu kalau uang yang diperoleh dari yang kita duga dari hasil tindak korupsi ini lalu dipindahkan, diubah bentuk, dan lain-lain, dan masuk kualifikasi Pasal 3 (UU Tipikor) ya di TPPU, bisa ini nanti ditetapkan kembali," ujarnya, saat dihubungi awak media, Minggu (24/8/2025).
Asep juga menjelaskan alasan KPK menjerat Noel dan 10 orang lainnya dengan sangkaan pemerasan, bukan suap. Ia mengatakan bahwa dalam kasus ini, para pemohon sertifikasi sudah memenuhi syarat, namun dipersulit oleh oknum demi mendapatkan sejumlah uang.
"Ini akan menjadi keliru ketika kita menerapkan Pasal suap karena mereka sesungguhnya sudah melengkapi dokumen-dokumen," kata Asep. Ia menambahkan, jika menggunakan pasal suap, pihak korban yang diperas juga akan ikut diproses, sehingga berpotensi membuat masyarakat takut untuk melapor.
KPK menduga Noel menerima jatah pemerasan sebesar Rp3 miliar pada Desember 2024. Dari temuan awal KPK, Noel diduga juga telah menerima satu unit motor Ducati, yang menambah daftar aset hasil kejahatan.
Dugaan pemerasan ini melibatkan 10 tersangka lain dan telah terjadi sejak tahun 2019. Salah satunya, Irvian Bobby Mahendro, disebut sebagai otak kejahatan yang telah menerima Rp69 miliar.
Modusnya, menurut KPK, para pihak yang hendak mengurus sertifikat K3 diharuskan membayar lebih mahal dari biaya resmi. Biaya resmi yang seharusnya cuma Rp275 ribu, dipatok hingga Rp6 juta per orang.
Saat ini, Noel dan 10 tersangka lain sudah ditahan selama 20 hari pertama di Rumah Tahanan (Rutan) Cabang KPK Gedung Merah Putih. Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan/atau Pasal 12 B UU Tipikor.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti setiap indikasi pencucian uang. "Ke depan tentu kalau uang yang diperoleh dari yang kita duga dari hasil tindak korupsi ini lalu dipindahkan, diubah bentuk, dan lain-lain, dan masuk kualifikasi Pasal 3 (UU Tipikor) ya di TPPU, bisa ini nanti ditetapkan kembali," ujarnya, saat dihubungi awak media, Minggu (24/8/2025).
Asep juga menjelaskan alasan KPK menjerat Noel dan 10 orang lainnya dengan sangkaan pemerasan, bukan suap. Ia mengatakan bahwa dalam kasus ini, para pemohon sertifikasi sudah memenuhi syarat, namun dipersulit oleh oknum demi mendapatkan sejumlah uang.
"Ini akan menjadi keliru ketika kita menerapkan Pasal suap karena mereka sesungguhnya sudah melengkapi dokumen-dokumen," kata Asep. Ia menambahkan, jika menggunakan pasal suap, pihak korban yang diperas juga akan ikut diproses, sehingga berpotensi membuat masyarakat takut untuk melapor.
KPK menduga Noel menerima jatah pemerasan sebesar Rp3 miliar pada Desember 2024. Dari temuan awal KPK, Noel diduga juga telah menerima satu unit motor Ducati, yang menambah daftar aset hasil kejahatan.
Dugaan pemerasan ini melibatkan 10 tersangka lain dan telah terjadi sejak tahun 2019. Salah satunya, Irvian Bobby Mahendro, disebut sebagai otak kejahatan yang telah menerima Rp69 miliar.
Modusnya, menurut KPK, para pihak yang hendak mengurus sertifikat K3 diharuskan membayar lebih mahal dari biaya resmi. Biaya resmi yang seharusnya cuma Rp275 ribu, dipatok hingga Rp6 juta per orang.
Saat ini, Noel dan 10 tersangka lain sudah ditahan selama 20 hari pertama di Rumah Tahanan (Rutan) Cabang KPK Gedung Merah Putih. Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan/atau Pasal 12 B UU Tipikor.