JAKARTA, Cobisnis.com - Di tengah tekanan ekonomi nasional dan tingginya suku bunga pinjaman, PT Kimia Farma Tbk (Persero) mengambil langkah besar yang memantik perhatian publik dan investor.
Perusahaan pelat merah di sektor farmasi ini berencana menjual 38 aset tanah dan bangunan senilai total Rp2,1 triliun sebagai bagian dari Restrukturisasi Perusahaan (RRP).
Langkah ini digadang-gadang menjadi strategi penyelamatan likuiditas sekaligus upaya menjaga kelangsungan bisnis di tengah beban keuangan yang menumpuk.
Namun, di sisi lain, rencana ini juga menimbulkan tanda tanya besar soal efektivitas restrukturisasi dan transparansi pengelolaan aset negara.
Dikutip dari keterbukaan informasi, Jumat (31/10/2025) manajemen Kimia Farma mengakui bahwa perusahaan menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan modal kerja, terutama menjaga keseimbangan antara likuiditas dan profitabilitas di tengah tekanan bunga pinjaman yang meningkat.
Sebagai bagian dari Rencana Restrukturisasi Perusahaan (RRP), Kimia Farma berencana melakukan divestasi 38 aset non-operasional, di mana 1 aset berada di Cikarang senilai Rp347 miliar akan dijual pada akhir 2025, dan 37 aset lainnya dengan nilai sekitar Rp1,8 triliun dijadwalkan dilepas secara bertahap antara 2026 hingga 2029.
Berdasarkan Laporan Keuangan per 30 Juni 2025, nilai kekayaan bersih Kimia Farma mencapai Rp3,3 triliun. Artinya, nilai aset yang akan dijual mencapai 63,6% dari total ekuitas perusahaan, angka yang sangat signifikan dan menimbulkan kekhawatiran mengenai seberapa besar ketergantungan perusahaan terhadap hasil penjualan aset ini untuk bertahan hidup.
Adapun sebagian hasil divestasi direncanakan untuk, 50 persen membayar kewajiban restrukturisasi perbankan (mandatory prepayment tranche B), dan 50 persen lainnya digunakan untuk modal kerja serta pelunasan kewajiban operasional jangka panjang.
Dari total 38 aset yang akan dijual, 1 aset di Cikarang dijadwalkan dialihkan kepada PT Bio Farma (Persero) induk usaha Kimia Farma melalui mekanisme penunjukan langsung.
Transaksi ini dikategorikan sebagai Transaksi Afiliasi karena melibatkan sesama BUMN, namun tetap dinyatakan memenuhi ketentuan POJK 17/2020 tentang Transaksi Material.
Kimia Farma menunjuk dua Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Febriman Siregar & Rekan serta Sugianto Prasodjo & Rekan untuk menilai nilai wajar aset tersebut.
Langkah ini disebut telah sesuai prosedur dan bebas dari konflik kepentingan. Meski demikian, penilaian internal dan harga limit yang mengacu pada NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) tetap membuka ruang potensi undervaluasi, terutama jika aset tersebut memiliki nilai strategis di kawasan industri dan komersial seperti Cikarang dan Pajajaran.
Pihak manajemen menegaskan bahwa penjualan aset tidak akan mengganggu operasional utama, karena sebagian besar aset dikategorikan non-produktif atau tidak digunakan untuk kegiatan inti seperti produksi obat dan layanan kesehatan.
Namun, terdapat empat lokasi yang saat ini masih digunakan sebagian oleh anak perusahaan, yang rencananya akan direlokasi atau dikonsolidasikan. Kimia Farma memastikan proses ini “tidak akan menimbulkan gangguan signifikan”.
Rencana divestasi besar-besaran ini memperlihatkan bahwa Kimia Farma tengah berjuang keras untuk menjaga arus kas di tengah penurunan daya beli masyarakat dan persaingan ketat di industri farmasi pasca-pandemi.
Namun, menjual aset hingga dua pertiga dari total kekayaan bersih bukanlah strategi kecil. Langkah ini justru menunjukkan tekanan finansial yang dalam, dan bila tidak diimbangi dengan peningkatan efisiensi serta inovasi bisnis, risiko kehilangan aset strategis tanpa pemulihan signifikan bisa menjadi ancaman nyata.
Rencana divestasi 38 aset oleh Kimia Farma menjadi langkah besar yang mencerminkan dinamika sulit BUMN farmasi di tengah tekanan ekonomi dan regulasi ketat.
Langkah ini bisa menjadi titik balik menuju efisiensi dan stabilitas keuangan, atau justru tanda bahaya dari model bisnis yang gagal beradaptasi.
Pada akhirnya, keberhasilan restrukturisasi ini tidak hanya diukur dari berapa aset yang terjual, tapi sejauh mana perusahaan mampu membangun kembali fundamental bisnis tanpa bergantung pada penjualan aset negara.
 
     
             
              
 
                     
                     
                     
                     
                    