JAKARTA, Cobisnis.com – Sebuah liga sepak bola amatir yang diorganisir oleh petani, pelajar, dan pekerja pabrik di pedesaan Tiongkok secara tak terduga menarik jutaan penggemar dan menginspirasi kota-kota besar untuk membentuk liga serupa, meningkatkan harapan bahwa Tiongkok dapat menumbuhkan talenta dari akar rumput dan akhirnya menjadi kekuatan sepak bola global.
Negara berpenduduk 1,4 miliar orang itu memiliki sekitar 200 juta penggemar sepak bola lebih banyak dari negara lain namun gagal membangun tim kelas dunia, sebagian karena pendekatan top-down di mana klub memilih pemain dari kelompok kandidat yang sangat kecil. Sepak bola profesional Tiongkok dibayangi sejarah pengaturan skor, korupsi, dan performa buruk, membuat mimpi Presiden Xi Jinping untuk menjadikan Tiongkok sebagai kekuatan sepak bola pada 2050 terasa semakin jauh.
Namun pada 2023, kesuksesan Liga Super Desa (Village Super League/VSL) mengubah babak baru dalam sejarah sepak bola Tiongkok. Liga itu menarik banyak penggemar melalui pertandingan penuh semangat, pertunjukan budaya saat jeda, dan hadiah berupa ternak. Popularitasnya meningkatkan pariwisata lokal, ekonomi setempat, dan bahkan mendapat pujian dari Xi dalam pidato Tahun Baru 2024.
Cahaya Kota Besar
Keberhasilan ini mendorong kota-kota besar mencoba membangun liga amatir dengan harapan meniru kesuksesan komersial VSL. Respons penonton sangat luar biasa.
Final Liga Super Jiangsu (JSL) yang digelar 1 November menarik 62.329 penonton hampir menyamai rekor 65.769 penonton pertandingan profesional pada 2012. Dua juta orang lainnya, yang tidak mendapatkan tiket 20 yuan (sekitar $2,81) jauh lebih murah dibandingkan tiket CSL yang bisa mencapai 1.000 yuan menonton secara online. Total tontonan siaran JSL dari 85 pertandingannya melampaui 2,2 miliar view.
Tiga jam sebelum kick-off, para penggemar memasuki Stadion Pusat Olahraga Olimpiade Nanjing dengan spanduk dan asap warna-warni. Mereka meneriakkan dukungan untuk tim kota masing-masing, bahkan pendukung dari 11 kota lain yang kalah tetap datang menghadiri final. Dalam adu penalti dramatis, Kota Nantong kalah tipis dari Taizhou.
Jalan Menuju Liga Besar
Cai Liang, 39 tahun, pendukung Taizhou, awalnya ragu apakah ia harus mendorong anaknya mengejar karier sepak bola. Namun anaknya yang berusia 14 tahun justru semakin tertarik setelah menonton Taizhou mengalahkan Zhenjiang pada Juli.
Reputasi buruk sepak bola profesional diliputi skandal dan sistem pembinaan yang sempit telah membuat banyak orang tua lebih memilih jalur akademik untuk anak-anak mereka. Sistem sekolah olahraga nasional yang sangat selektif juga membuat talenta-talenta yang berkembang lebih lambat terabaikan.
Kesuksesan JSL telah menginspirasi provinsi lain membentuk liga serupa. Liaoning meluncurkannya tahun lalu, disusul Hebei dan Mongolia Dalam pada Agustus, serta Hunan dan Sichuan pada September. Terdapat tanda awal bahwa liga amatir kini menciptakan jalur baru menuju sepak bola profesional.
Gelandang Taizhou, Wu Zhicheng, 18 tahun, menjadi pemain JSL pertama yang masuk divisi profesional tertinggi Tiongkok pada Juli. Pelatih Taizhou, Zhou Gaoping satu-satunya pelatih wanita di liga dan mantan pemain tim nasional wanita mengatakan ia berharap lebih banyak pemain mengikuti jejak Wu. “Akan ada pemain yang melaju hingga ke tim nasional,” ujarnya.
Harapan Kembali Menyala
Stadion Pusat Olahraga Olimpiade Nanjing dulunya adalah markas Jiangsu FC, klub yang pernah dilatih eks manajer Inggris Fabio Capello saat masa kejayaan sepak bola Tiongkok sebelum pandemi. Dengan dukungan dana besar dari perusahaan domestik, Liga Super Tiongkok (CSL) sempat menarik banyak pemain dan pelatih kelas dunia.
Jiangsu FC memenangkan CSL pada 2020 namun bubar kurang dari setahun kemudian ketika perusahaan induknya, Suning Group, memutuskan fokus pada bisnis inti. “Jiangsu FC bubar di puncaknya, dan kini harapan Jiangsu kembali hidup lewat liga amatir,” kata Li Jianlin, 33 tahun, pendukung Taizhou.
“Sepak bola Tiongkok masih punya masa depan.”