JAKARTA, Cobisnis.com – Aroma kayu manis dan pala yang identik dengan musim gugur di Amerika Serikat ternyata memiliki sejarah yang jauh lebih kelam dibanding kesan hangat dan nostalgia yang melekat pada pumpkin spice.
Sebelum minuman Pumpkin Spice Latte (PSL) mendunia, pumpkin spice hanyalah campuran rempah sederhana nutmeg, ginger, cinnamon, dan clove yang biasa dipakai dalam pai labu. Bagi banyak orang Amerika, rempah ini dulunya hanya muncul saat perayaan Thanksgiving. Namun kini, masyarakat AS menghabiskan sekitar US$500 juta setiap tahun untuk produk berlabel pumpkin spice, dan industri ini diproyeksikan lebih dari dua kali lipat pada 2035.
Popularitas modernnya dimulai pada awal 2000-an, terutama setelah Starbucks memperkenalkan PSL pada 2003. Minuman itu langsung melekat sebagai simbol musim gugur di AS. Namun di balik keharumannya, sejarah pumpkin spice berasal dari masa kolonialisme yang brutal.
Pada abad ke-17, Belanda berupaya memonopoli perdagangan pala komoditas yang hanya tumbuh di Kepulauan Banda, Indonesia hingga melakukan pembantaian besar terhadap penduduk asli Bandanese pada 1621. Di Sri Lanka, tempat tumbuhnya kayu manis, penduduk lokal dipaksa memanen rempah tersebut di bawah penjajahan Portugis, Belanda, dan Inggris. Rempah seperti cengkih dan jahe juga tak lepas dari sejarah kekerasan dan perbudakan di bawah kekuasaan kolonial Eropa.
Rempah yang berasal dari Asia itu justru menjadi bagian penting kuliner Eropa dan kemudian Amerika Utara, terutama dalam kue dan makanan perayaan. Pada 1796, Amelia Simmons melalui bukunya American Cookery mencantumkan nutmeg, ginger, dan allspice sebagai bahan utama “pompkin pie”. Seiring berkembangnya budaya masak praktis pada abad ke-19, perusahaan seperti McCormick mulai menjual campuran pumpkin spice yang siap pakai.
Pada akhir 1800-an, warga Amerika menganggap rempah ini sebagai bagian dari identitas kuliner mereka, terutama melalui tradisi Thanksgiving yang dijadikan hari libur nasional oleh Presiden Lincoln pada 1863 meski narasi sejarahnya kerap menutupi realitas kolonialisme yang dialami masyarakat adat.
Popularitas pumpkin spice meroket pada abad ke-21 berkat Starbucks. PSL diracik dari espresso, susu panas, sirup pumpkin spice, dan whipped cream. Pendekatan emosional kehangatan, nostalgia, kebersamaan ditambah statusnya sebagai minuman musiman, menciptakan rasa eksklusivitas yang memicu permintaan besar. Pada 2025, peluncuran PSL pada 26 Agustus meningkatkan jumlah pengunjung Starbucks AS sebesar 27%.
Namun tidak semua orang menyukai fenomena ini. Mendiang Anthony Bourdain pernah menyatakan keengganannya terhadap pumpkin spice, sementara sebagian publik menganggapnya simbol budaya “basic”. Gerakan #decolonizepumpkinspice pada 2015 muncul sebagai kritik terhadap kolonialisme dalam sejarah perdagangan rempah.
Meski demikian, PSL tetap berkembang menjadi fenomena besar. Kini hampir semua jaringan ritel besar memiliki varian pumpkin spice, dari McDonald's, Dunkin', hingga produk unik seperti hummus pumpkin spice, keju oles, bahkan kantong sampah beraroma pumpkin spice.
Pumpkin spice juga telah menjadi bagian budaya Amerika karena rasa dan aromanya yang memicu memori emosional. Senyawa seperti cinnamaldehyde, gingerol, dan eugenol menciptakan sensasi hangat di lidah, menambah kesan nyaman khas musim gugur. Di sisi lain, labu sendiri memiliki akar mendalam dalam tradisi kuliner masyarakat adat Amerika, yang memberi dimensi sejarah tambahan bagi rasa ini.
Aroma cinnamon dan nutmeg mengingatkan orang pada kehangatan, kebersamaan, dan kenangan masa lalu alasan mengapa PSL terus bertahan meskipun sering dikritik. Minuman ini mencerminkan bagaimana masyarakat memproses ketidakpastian melalui ritual, kenyamanan, dan pengulangan. Pumpkin spice, rupanya, bukan sekadar rasa; ia adalah emosi yang dikemas dalam secangkir minuman.