JAKARTA, Cobisnis.com – Mengirim manusia ke luar angkasa memang terlihat megah, tapi di baliknya ada angka yang bikin kening berkerut. NASA masih harus merogoh hingga ratusan miliar rupiah hanya untuk menerbangkan satu astronot ke orbit Bumi.
Pada masa kejayaan Space Shuttle antara 1981 hingga 2011, setiap misi NASA menelan biaya sekitar US$ 1,5 miliar. Dengan kapasitas tujuh orang, satu kursi astronot bernilai sekitar US$ 214 juta atau sekitar Rp3,4 triliun.
Setelah program itu pensiun, NASA bergantung pada Rusia lewat kapsul Soyuz. Biayanya memang lebih rendah, tapi tetap tak bisa dibilang murah — sekitar US$ 80–90 juta per orang, atau sekitar Rp1,3 triliun untuk sekali jalan ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
Situasi berubah ketika perusahaan swasta seperti SpaceX ikut bermain. Melalui kapsul Crew Dragon, biaya satu kursi astronot kini bisa ditekan hingga US$ 55–60 juta, atau sekitar Rp900 miliar. Angka itu jauh lebih efisien dibanding era sebelumnya.
Inovasi terbesar datang dari sistem roket reusable milik SpaceX, yang bisa digunakan berulang kali tanpa perlu membangun roket baru. Teknologi ini menandai babak baru eksplorasi luar angkasa yang lebih hemat dan berorientasi bisnis.
Tapi efisiensi itu tak berlaku untuk misi besar seperti Artemis, proyek ambisius NASA yang bertujuan membawa manusia kembali ke Bulan. Dalam misi ini, biaya per astronot diperkirakan menembus US$ 1 miliar, atau sekitar Rp16 triliun.
Angka fantastis itu bukan hanya untuk perjalanan, tapi juga mencakup pengembangan roket raksasa Space Launch System (SLS), kapsul Orion, sistem pendarat, hingga seluruh logistik pendukung di Bulan.
Secara ekonomi, proyek-proyek NASA memang mahal, tapi di sisi lain memicu perkembangan industri luar angkasa global. Banyak inovasi teknologi yang lahir dari proyek semacam ini, lalu diadaptasi untuk kebutuhan sipil dan komersial.
Sementara dari sisi sosial, turunnya biaya misi berkat kolaborasi dengan sektor swasta membuka jalan bagi lebih banyak negara dan ilmuwan untuk terlibat dalam riset antariksa. Dunia perlahan masuk ke era eksplorasi yang lebih terbuka.
Meski begitu, satu hal masih sama: untuk bisa terbang ke luar angkasa, manusia tetap butuh lebih dari sekadar mimpi juga miliaran rupiah dan teknologi yang belum banyak dimiliki siapa pun.