Jamkrindo

Ratusan Restoran di Singapura Tutup Akibat Lonjakan Harga Sewa

Oleh M.Dhayfan Al-ghiffari pada 10 Oct 2025, 16:17 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Fenomena mengejutkan melanda industri kuliner di Singapura. Dalam beberapa bulan terakhir, ratusan restoran tutup mendadak akibat biaya sewa yang meroket. Kondisi ini memukul keras pelaku bisnis makanan dan minuman (F&B) di negara dengan biaya hidup termahal di Asia Tenggara itu.

Salah satu yang jadi sorotan adalah penutupan restoran legendaris Ka-Soh di Greenwood Avenue, yang sudah berdiri selama 86 tahun. Restoran keluarga ini resmi menyajikan semangkuk sup ikan terakhirnya pada 28 September 2025. Cedric Tang, pemilik generasi ketiga, mengaku tak kuasa menahan tekanan ekonomi yang makin berat.

“Kami sudah bekerja keras selama bertahun-tahun, tapi keadaan tak berpihak pada kami,” ujar Tang kepada Channel News Asia. Ia menyebut kenaikan sewa sebesar 30% menjadi alasan utama keputusan pahit tersebut.

Harga sewa tempat Ka-Soh naik menjadi S$15.000 per bulan atau sekitar Rp190 juta, meningkat S$3.000 dari tahun sebelumnya. Agar bisa bertahan, mereka harus menjual tambahan 300 mangkuk mi ikan setiap bulan target yang dinilai mustahil tercapai tanpa menaikkan harga menu.

Namun, menaikkan harga bukan pilihan mudah. Tang menolak membebani pelanggan setia yang sudah puluhan tahun datang ke restorannya. “Untuk bisnis warisan, kami ingin tetap terjangkau bagi pelanggan lama kami,” katanya.

Ironisnya, meski sudah memangkas biaya habis-habisan bahkan pemilik turun langsung menjadi pencuci piring dan pelayan dapur usaha itu tetap tak terselamatkan. Ka-Soh pun menyusul ratusan restoran lain yang gulung tikar di Singapura sepanjang tahun ini.

Data menunjukkan, 320 restoran tutup pada Juli 2025 dan 360 restoran lagi menyusul di Agustus. Bahkan sepanjang 2024, lebih dari 3.000 bisnis F&B tumbang atau sekitar 250 restoran setiap bulan, tertinggi dalam hampir dua dekade terakhir.

Menurut Asosiasi Penyewa Singapura (SGTUFF), lonjakan sewa menjadi biang utama. “Mayoritas penyewa mengalami kenaikan sewa 20–49%. Ini yang membuat banyak bisnis tak sanggup bertahan,” ujar Ketua SGTUFF, Terence Yow. Ia menyebut situasi ini belum pernah terjadi selama 20 tahun terakhir.

Namun, dari sisi pemilik properti, kondisi pasar juga ikut berperan. Ethan Hsu dari Knight Frank Singapura menyebut, kenaikan sewa masih dianggap wajar karena biaya konstruksi naik 30% dan pemeliharaan naik 10%. “Banyak yang menyalahkan pemilik properti, padahal nilai sewa hanyalah salah satu komponen biaya keseluruhan,” jelasnya.

Fenomena ini menjadi alarm keras bagi dunia usaha Singapura. Lonjakan harga sewa tak hanya menggerus margin bisnis, tapi juga mengancam keberlangsungan warisan kuliner dan lapangan kerja di sektor F&B. Jika tren ini berlanjut, Singapura bisa kehilangan sebagian identitas kulinernya yang selama ini menjadi daya tarik wisata.