JAKARTA, Cobisnis.com – Rusia resmi memperketat hukuman bagi siapa pun yang dianggap menghina Al-Qur’an dan Nabi Muhammad setelah Presiden Vladimir Putin menandatangani revisi aturan pidana yang memperluas tindakan kriminal terkait penghinaan agama. Kebijakan ini memperkuat pasal-pasal yang sejak 2013 sudah mengatur soal pelanggaran terhadap perasaan keagamaan.
Langkah ini membuat tindakan seperti membakar Al-Qur’an, merendahkan simbol agama, atau menghina tokoh suci bisa dikenakan hukuman lebih berat. Pemerintah Rusia menyebut aturan tersebut diperlukan untuk menjaga “nilai tradisional” dan stabilitas sosial di dalam negeri.
Dalam aturan yang diperbarui ini, pasal 148 Kitab Undang-Undang Pidana Rusia kini memiliki cakupan lebih tegas. Perubahan tersebut memberikan dasar hukum yang lebih luas bagi aparat untuk menindak aksi yang dianggap merendahkan keyakinan kelompok tertentu.
Pemerintah Rusia menegaskan bahwa aturan ini tidak hanya soal perlindungan umat Islam, tetapi perlindungan terhadap semua agama yang memiliki kitab suci. Namun pernyataan itu tidak mengurangi sorotan publik yang menilai kebijakan ini sangat berkaitan dengan isu penghinaan terhadap Al-Qur’an.
Sejumlah analis internasional menilai langkah ini memperkuat kontrol negara terhadap ruang kebebasan berekspresi. Mereka menilai aturan yang terlalu luas bisa memunculkan risiko kriminalisasi terhadap kritik atau ekspresi yang sebenarnya tidak berniat menghina agama.
Sejak pertama kali diberlakukan pada 2013, pasal penghinaan agama sudah sering menuai kritik karena dianggap punya definisi yang tidak jelas. Dengan revisi terbaru, kekhawatiran itu makin besar karena ruang interpretasi menjadi lebih lebar.
Di sisi sosial, aturan baru ini mendapat respons beragam. Sebagian masyarakat Rusia, terutama kelompok konservatif, menyambut positif karena menilai tindakan penghinaan agama dapat memicu konflik antarkelompok. Mereka menganggap hukuman berat bisa menjaga ketertiban umum.
Namun kelompok pembela kebebasan sipil melihat sebaliknya. Mereka menilai pengetatan aturan ini bisa digunakan untuk membungkam suara yang tidak sejalan dengan pemerintah. Beberapa organisasi HAM internasional menyebut langkah ini mencerminkan tren pembatasan kebebasan berekspresi di Rusia.
Para pengamat juga menilai kebijakan ini sejalan dengan upaya Kremlin memperkuat narasi moral dan “nilai tradisional” di tengah ketegangan geopolitik yang masih berlangsung. Pemerintah Rusia belakangan sering menggunakan isu moralitas dan identitas nasional sebagai alat konsolidasi politik.
Aturan baru ini diperkirakan akan berdampak langsung pada komunitas agama dan ruang publik digital. Unggahan di media sosial, konten video, hingga tindakan simbolik kini berpotensi masuk kategori pelanggaran pidana bila dianggap menghina keyakinan.
Langkah Rusia ini juga menambah daftar regulasi negara yang memperketat batasan terhadap ekspresi publik. Sementara sebagian negara justru memperluas ruang kebebasan, Rusia mengambil arah sebaliknya dengan alasan menjaga harmoni sosial dan identitas nasional.