JAKARTA, Cobisnis.com – Fenomena buy now, regret later semakin terasa kuat dalam kehidupan masyarakat modern. Dengan akses belanja yang serba instan, manusia terdorong membeli sesuatu hanya karena dorongan sesaat, bukan kebutuhan. Setelah euforia menghilang, barulah muncul penyesalan yang mengganggu finansial dan mental.
Salah satu faktor utama budaya ini adalah kemudahan teknologi. Aplikasi e-commerce menyediakan tombol beli yang sangat cepat, lengkap dengan promo, flash sale, dan free shipping yang membuat keputusan terasa ringan. Kecepatan transaksi ini menurunkan kontrol diri, karena proses mempertimbangkan pembelian menjadi lebih singkat atau bahkan dilewati.
Tidak hanya itu, strategi pemasaran turut memainkan peran besar. Brand memanfaatkan psikologi FOMO—takut ketinggalan promo atau barang rare—sehingga orang merasa harus membeli sekarang atau kehilangan kesempatan. Padahal kebutuhan sebenarnya belum tentu ada. Tekanan emosional ini sering membuat pembelian terasa mendesak, walau sifatnya semu.
Media sosial juga memperkuat fenomena ini. Konten haul, rekomendasi produk, dan gaya hidup “serba punya” menciptakan standar baru yang membuat orang merasa harus mengikuti tren. Lingkungan digital memancing keinginan, bukan kebutuhan, sehingga impuls belanja semakin sulit dikendalikan. Dalam jangka panjang, pola ini membentuk kebiasaan konsumtif.
Efek lainnya terlihat pada kondisi finansial. Pembelian impulsif kecil-kecilan yang dianggap sepele bisa menumpuk menjadi pengeluaran besar. Banyak yang akhirnya merasa uang cepat habis tanpa sadar ke mana alirannya. Ini memicu penyesalan dan tekanan mental, terutama ketika kebutuhan yang lebih penting muncul kemudian.
Secara psikologis, buy now, regret later berkaitan dengan kebutuhan sesaat akan dopamine. Proses membeli memberi rasa senang dan puas, tetapi efeknya sangat cepat memudar. Ketika barang datang dan tidak terasa se-berharga itu, penyesalan pun muncul. Siklus ini bisa berulang jika tidak disadari, membuat seseorang terjebak dalam pola belanja kompulsif.
Meski begitu, budaya ini bisa dikendalikan dengan meningkatkan kesadaran finansial. Membuat wishlist, memberi jeda waktu sebelum membeli, dan mencatat pengeluaran adalah langkah kecil yang sangat efektif. Dengan begitu, keputusan belanja kembali berbasis kebutuhan, bukan dorongan emosional.
Fenomena buy now, regret later bukan sekadar masalah belanja, tapi cerminan tekanan sosial, teknologi yang semakin cepat, dan kebutuhan manusia akan validasi instan. Menyadari mekanismenya membantu kita lebih bijak membelanjakan uang, menjaga mental, serta menghindari penyesalan yang datang terlambat.