JAKARTA, Cobisnis.com - PT Sari Kreasi Boga Tbk (Kode saham RAFI) atau SKB Food mengumumkan strategi besar untuk tahun 2026 dengan tema “More Impactful and More Valuable”, yang disebut akan membawa perusahaan memasuki bisnis buah lokal, peternakan, penguatan teknologi, hingga pengembangan berbagai brand makanan.
Namun di tengah pernyataan optimistis yang disampaikan oleh jajaran direksi, sejumlah pertanyaan krusial muncul mengenai kesiapan, kapasitas, serta konsistensi strategi perusahaan.
Direktur Bisnis & Operasional, Noval, menyatakan bahwa langkah masuk ke bisnis buah lokal dan peternakan merupakan bagian dari visi besar untuk menjadikan SKB Food perusahaan terintegrasi di sektor agrifood dan seafood.
Namun, perusahaan belum memiliki skema yang jelas. SKB Food masih melakukan kajian terkait apakah akan mengakuisisi kebun/peternakan, mengelola langsung, atau menggunakan pola kemitraan.
Ketiadaan kepastian ini menimbulkan keraguan apakah langkah-langkah tersebut didasari analisis bisnis yang solid atau sekadar mengikuti narasi ketahanan pangan pemerintah.
Di tengah ketatnya persaingan agribisnis nasional dan tingginya tingkat kegagalan di sektor pertanian dan peternakan, ekspansi tanpa model bisnis yang matang dapat menjadi risiko finansial besar bagi Perseroan.
Perseroan juga menyatakan akan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi untuk distribusi pangan nasional, termasuk bekerja sama dengan koperasi desa.
Namun penjelasan Noval tidak menyentuh aspek fundamental seperti investasi aktual terhadap infrastruktur digital, kesiapan logistik dingin (cold chain) yang menjadi syarat distribusi makanan segar, atau bagaimana Perseroan akan mengintegrasikan ribuan titik pasok dari koperasi ke dalam rantai distribusinya.
Tanpa detail tersebut, rencana digitalisasi ini terkesan lebih sebagai visi makro dibanding strategi operasional yang konkret.
Direktur Utama SKB Food, Eko Pujianto, menegaskan rencana pengembangan sejumlah brand baru dan existing, termasuk beras premium Rafina, brand makanan siap saji, pelebaran resto/kafe, Kebab88, serta perluasan EsKabeh Seafood.
Deretan rencana yang begitu banyak ini menunjukkan agresivitas di level hilir, tetapi juga menimbulkan pertanyaan apakah perusahaan memiliki kapasitas finansial, sumber daya operasional, dan pipeline produksi yang memadai untuk menjalankan beberapa lini bisnis secara serempak.
Terlebih, jika hulu (buah dan peternakan) masih dalam tahap kajian, kelanjutan hilir tanpa dasar produksi yang kokoh bisa berujung pada ketergantungan terhadap supplier dan risiko margin tipis.
SKB Food berulang kali menyebut bahwa ekspansinya mendukung program pemerintah yakni ketahanan pangan, swasembada pangan, dan peningkatan gizi nasional. Namun penggunaan narasi ini perlu dicermati secara kritis.
Tidak ada kejelasan bagaimana kontribusi SKB Food akan diukur, apakah ada program konkret yang mengaitkan SKB Food dengan proyek pemerintah, atau apakah ini hanya framing untuk membangun persepsi publik dan investor.
Jika strategi perusahaan terlalu bergantung pada program pemerintah sementara kebijakan dapat berubah sewaktu-waktu, maka risiko bisnis yang ditanggung Perseroan akan semakin tinggi.
Eko Pujianto menyebut prospek industri makanan dan minuman 2026 “sangat positif,” namun tidak menunjukkan data, proyeksi pasar, atau hitungan ekonomis yang mendukung pernyataan tersebut.
Optimisme sepihak tanpa dukungan analitis dapat menjadi alarm bagi investor, terutama jika ekspansi dilakukan pada saat fundamental bisnis Perseroan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Walaupun SKB Food tengah membangun narasi transformasi besar menuju perusahaan agrifood terintegrasi, sejumlah hal masih menjadi catatan kritis diantaranya:
- Model bisnis pada buah lokal dan peternakan belum jelas (akuisisi? kemitraan? pengelolaan langsung?).
- Rencana penggunaan teknologi tidak disertai detail investasi dan integrasi operasional.
- Pengembangan banyak brand sekaligus berpotensi membuat fokus perusahaan terpecah.
- Narasi dukungan terhadap kebijakan pemerintah tidak diikuti mekanisme kontribusi yang terukur.
- Optimisme besar tanpa proyeksi finansial menimbulkan risiko over-promising.
Jika tidak disertai mitigasi risiko dan eksekusi disiplin, strategi “More Impactful and More Valuable” berpotensi menjadi slogan tanpa dampak nyata, atau bahkan membebani kinerja Perseroan.