Jamkrindo

Ini Alasan Kenapa Konsumsi Digital Diam-diam Lebih Mahal dari Konsumsi Fisik

Oleh Desti Dwi Natasya pada 03 Dec 2025, 04:32 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi digital meningkat drastis. Orang membeli langganan, in-app purchase, konten premium, sampai microtransaction yang kelihatannya kecil. Dari luar, konsumsi digital terlihat murah karena tidak ada barang fisik yang kita bawa pulang. Namun, justru di sinilah jebakannya: konsumsi digital sering berujung lebih mahal daripada konsumsi fisik.

Salah satu alasannya adalah pricing psychology. Produk digital dibuat dengan harga masuk yang rendah—Rp10 ribu, Rp20 ribu, atau “hanya Rp5 ribu per hari”—sehingga terasa tidak memberatkan. Padahal, model langganan membuat biaya ini menumpuk tanpa disadari. Dalam setahun, satu aplikasi murah bisa menghabiskan ratusan ribu hingga jutaan rupiah, jauh di atas pembelian fisik yang sekali bayar.

Produk digital juga dirancang untuk meningkatkan konsumsi. Notifikasi, bonus harian, fitur eksklusif, dan gamifikasi membuat pengguna terus kembali dan mengeluarkan uang lebih sering. Di dunia fisik, konsumsi dibatasi oleh ruang dan kebutuhan. Di dunia digital, batas itu hilang karena tidak ada stok, tidak ada jarak, dan tidak ada rasa “kenyang”.

Hal lain yang membuat konsumsi digital lebih mahal adalah sifatnya yang tidak berakhir. Barang fisik bisa dipakai lama; beli sekali bisa bertahan bertahun-tahun. Sementara aplikasi, platform, atau game digital menuntut kita terus membayar untuk fitur penuh, update, atau akses. Model bisnisnya bukan membeli, tapi menyewa.

Selain itu, konsumsi digital mendorong pembelian impulsif. Dalam hitungan detik, kita bisa membeli konten, skin game, atau tiket online tanpa melihat barangnya secara nyata. Tidak ada proses memilih atau mempertimbangkan seperti saat belanja fisik. Gesekan yang hilang membuat orang lebih mudah menghabiskan uang untuk sesuatu yang cepat hilang manfaatnya.

Konsumsi digital juga memengaruhi standar hidup. Ketika semua orang berlangganan beberapa layanan sekaligus—musik, film, penyimpanan awan, aplikasi belajar—kita merasa perlu ikut agar tidak tertinggal. Budaya FOMO ini membuat total pengeluaran digital jauh lebih besar daripada membeli barang fisik yang benar-benar dibutuhkan.

Meski begitu, konsumsi digital bukan hanya soal harga; ada nilai kenyamanan dan kecepatan. Namun, tanpa kontrol, digital spending bisa membengkak tanpa terasa. Inilah alasan banyak orang merasa pendapatannya cepat habis meski tidak membeli “barang”.

Pada akhirnya, konsumsi digital terlihat ringan di awal, tetapi ketika dijumlahkan, biayanya bisa jauh lebih besar dari konsumsi fisik. Dunia digital memudahkan, tapi juga membuat kita kurang sadar terhadap pengeluaran. Memahami pola ini adalah langkah penting untuk mengelola keuangan lebih bijak di era digital.