JAKARTA, Cobisnis.com – Setelah kesepakatan gencatan senjata mulai berlaku, Hamas memperkuat kembali kontrol militernya di Jalur Gaza. Laporan Reuters pada Selasa (14/10/2025) menyebut kelompok itu melakukan serangkaian tindakan keras terhadap warga yang dianggap berkolaborasi dengan Israel, termasuk eksekusi publik di sejumlah titik di Khan Younis dan Gaza City.
Penguatan kekuasaan ini dilakukan hanya beberapa hari setelah pembebasan hampir 2.000 tahanan Palestina oleh Israel. Momentum yang semula diharapkan menjadi babak baru bagi stabilitas Gaza justru berubah menjadi sinyal tegang. Hamas kini menunjukkan bahwa kekuasaan di wilayah itu sepenuhnya kembali berada di bawah kendalinya.
Di berbagai kota, pejuang Hamas dilaporkan menempati pos-pos pemeriksaan dan pusat distribusi bantuan. Langkah tersebut diklaim untuk menjaga keamanan dan mencegah infiltrasi pihak luar. Namun, sumber diplomatik menilai, kehadiran milisi bersenjata di ruang publik mempersempit ruang gerak sipil dan memperkuat citra Gaza sebagai wilayah di bawah kontrol militer ketat.
Sejumlah pengamat internasional menilai langkah Hamas ini berpotensi mengguncang kepercayaan terhadap gencatan senjata yang baru saja disepakati. Israel pun menyoroti tindakan keras itu sebagai bukti bahwa perdamaian di Gaza masih rapuh dan belum disertai perubahan mendasar dalam struktur keamanan wilayah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporan terbarunya memperingatkan bahwa stabilitas politik menjadi kunci utama dalam proses rekonstruksi Gaza. Nilai kebutuhan pembangunan kembali wilayah itu diperkirakan mencapai 70 miliar dolar AS. Namun, investor internasional dikabarkan masih menunggu kepastian keamanan dan pemerintahan yang stabil sebelum menyalurkan bantuan.
Pemerintah Amerika Serikat, melalui juru bicara Gedung Putih, menyebut situasi di Gaza sebagai “fase sensitif pascaperang” yang membutuhkan pendekatan diplomasi hati-hati. Washington mendorong agar semua pihak menahan diri dari tindakan kekerasan yang dapat memicu spiral konflik baru.
Sementara itu, sejumlah negara Arab seperti Mesir dan Qatar yang turut menjadi mediator perdamaian menegaskan pentingnya transisi politik damai di Gaza. Mereka menyerukan agar Hamas membuka ruang bagi pemerintahan sipil dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah.
Bagi Hamas, tindakan penguatan kendali dianggap perlu untuk mencegah potensi kekacauan pascaperang. Namun, langkah ini sekaligus menimbulkan kekhawatiran di kalangan warga sipil yang berharap adanya pemulihan ekonomi dan kehidupan normal setelah dua tahun konflik.
Sejumlah analis menilai, masa depan gencatan senjata akan sangat ditentukan oleh kemampuan Hamas menjaga keseimbangan antara kontrol keamanan dan komitmen terhadap rekonsiliasi. Jika dominasi militer terus diperkuat, potensi dukungan internasional untuk pembangunan Gaza bisa melemah.
Situasi ini menegaskan bahwa perdamaian sejati di Gaza tidak hanya bergantung pada berhentinya perang, tetapi juga pada kesiapan semua pihak membangun tata kelola yang transparan dan inklusif. Dunia kini menunggu apakah gencatan senjata akan menjadi fondasi perdamaian, atau hanya jeda sebelum konflik kembali pecah.