Jamkrindo

Krisis Sudan dan Ujian Solidaritas Umat Islam Dunia

Oleh M.Dhayfan Al-ghiffari pada 03 Nov 2025, 05:03 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Ekonomi Sudan kini nyaris lumpuh total. Dua tahun perang saudara membuat negeri itu runtuh secara ekonomi, sosial, dan kemanusiaan. Tapi di tengah semua kehancuran itu, yang masih tersisa hanyalah keyakinan dan doa dari jutaan rakyat yang berpegang pada iman.

Nilai tukar Pound Sudanese ambruk. Satu dolar Amerika kini bisa menembus lebih dari 3.000 pound Sudan di pasar gelap. Harga bahan pokok naik lebih dari dua kali lipat hanya dalam hitungan bulan. Bagi banyak keluarga, sekantong tepung sudah jadi kemewahan.

Inflasi yang melonjak di atas 250 persen bikin rakyat terjepit. Di kota-kota seperti Khartoum dan Omdurman, antrean panjang untuk roti dan air bersih jadi pemandangan sehari-hari. Tapi di tengah derita itu, masjid masih berdiri — tempat warga berdoa dan mencari ketenangan.

Produksi pangan di wilayah subur Darfur dan Gezira hancur akibat perang. Lahan kering, irigasi rusak, dan petani kehilangan alat. Sekitar 20 juta warga kini hidup dalam krisis pangan. Mereka menggantungkan hidup pada bantuan dan saling berbagi, nilai yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam.

Pemerintah tak lagi punya kekuatan ekonomi. Pajak dan ekspor macet, tambang emas dikuasai kelompok bersenjata. Di banyak wilayah, kehidupan sosial berjalan atas dasar gotong royong sebagian besar dipelopori oleh komunitas dan lembaga Islam lokal yang berusaha menjaga hidup sesama.

Krisis ini bukan cuma soal politik atau ekonomi. Ini juga cermin lemahnya solidaritas dunia Islam. Di saat rakyat Sudan berjuang untuk bertahan hidup, sebagian besar negara Islam masih sibuk dengan urusan dalam negeri. Suara solidaritas terdengar, tapi belum berubah jadi tindakan nyata.

Lembaga kemanusiaan internasional seperti PBB memang turun tangan, tapi peran dunia Islam semestinya bisa lebih besar. Islam menekankan pentingnya ukhuwah persaudaraan antarumat terutama saat satu bagian dunia Islam sedang menderita.

Ulama Sudan menyebut, kekuatan sejati umat Islam bukan di kekayaan, tapi di empati. Mereka menyerukan agar dunia Islam tidak diam, sebab penderitaan satu negeri muslim adalah panggilan moral bagi semuanya.

Meski situasi terus memburuk, harapan belum padam. Banyak warga tetap percaya, setelah gelapnya perang, akan datang masa pemulihan sebagaimana janji Allah bahwa setiap kesulitan pasti disertai kemudahan.

Sudan kini jadi cermin keras bagi dunia Islam: apakah kita masih satu tubuh, atau hanya satu nama tanpa rasa.