Jamkrindo

Louis Vuitton Tetap Diburu Meski Harganya Selangit

Oleh M.Dhayfan Al-ghiffari pada 31 Oct 2025, 05:22 WIB

JAKARTA, Cobisnis.com – Tas Louis Vuitton tetap jadi incaran banyak orang meski harganya bisa setara dengan satu unit motor. Fenomena ini menunjukkan bagaimana merek mewah bertahan karena citra, gengsi, dan strategi eksklusivitas yang terjaga.

Bagi sebagian pembeli, tas Louis Vuitton bukan sekadar pelengkap gaya, tapi simbol pencapaian dan status sosial. Kepemilikan produk ini sering dianggap sebagai tanda kesuksesan finansial sekaligus cara menunjukkan identitas diri.

Louis Vuitton sengaja menjaga kesan eksklusif dengan tidak pernah memberikan diskon. Bahkan, stok lama lebih baik dimusnahkan daripada dijual murah. Strategi ini menegaskan bahwa nilai merek terletak pada kelangkaan dan persepsi kualitas tinggi.

Selain itu, Louis Vuitton punya sejarah panjang sejak abad ke-19. Desain klasik dan pengerjaan presisi menjadi ciri khas yang membedakan dari merek lain. Setiap produk dibuat dengan detail yang menunjukkan kualitas dan tradisi craftsmanship khas Prancis.

Pendekatan pemasarannya juga berbeda. Louis Vuitton jarang menggunakan iklan konvensional, tapi lebih mengandalkan asosiasi dengan gaya hidup premium dan kehadiran di acara bergengsi. Hal ini menjaga citra merek agar tetap elegan dan aspiratif.

Secara sosial, Louis Vuitton identik dengan gaya hidup sukses dan modern. Di banyak negara, termasuk Indonesia, produk ini jadi simbol pencapaian pribadi. Pembeli tidak hanya mencari fungsi, tapi juga pengalaman emosional dari kepemilikan produk tersebut.

Fenomena ini menunjukkan bahwa logika harga bukan satu-satunya faktor yang menentukan minat beli. Dalam industri barang mewah, nilai emosional dan simbolik justru menjadi daya tarik utama yang sulit digantikan.

Bagi pengamat ekonomi, strategi Louis Vuitton mencerminkan cara industri luxury mempertahankan daya tahan di tengah perubahan pasar. Saat merek lain bersaing dengan promosi harga, Louis Vuitton justru menjaga jarak dari persaingan tersebut.

Tren ini juga menandakan pergeseran perilaku konsumen modern yang semakin menghargai pengalaman dan citra dibanding fungsi semata. Dalam konteks ini, barang mewah menjadi sarana ekspresi diri yang bernilai sosial tinggi.

Louis Vuitton menjadi contoh nyata bagaimana merek kuat bisa bertahan bukan karena kebutuhan, tetapi karena makna yang ditanamkan pada setiap produknya. Selama nilai eksklusif dan prestise masih dicari, pasar barang mewah tampaknya tidak akan sepi.