JAKARTA, Cobisnis.com – Di tengah derasnya arus digitalisasi keuangan, sebagian masyarakat Indonesia ternyata masih setia pada cara lama: menyimpan uang di rumah. Fenomena ini bukan sekadar soal kebiasaan, tapi juga cerminan dari rasa tidak percaya dan keterbatasan akses ke bank.
Buat sebagian orang, pegang uang tunai langsung terasa lebih aman. Nggak perlu ribet urusan antrean, biaya admin, atau takut saldo kepotong tiba-tiba. Cerita-cerita soal rekening diblokir atau bank kolaps juga bikin kepercayaan makin tipis.
Masalahnya, literasi keuangan di Indonesia memang masih rendah. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2022 mencatat tingkat literasi baru 49,68 persen. Artinya, separuh masyarakat belum benar-benar paham cara kerja dan manfaat produk keuangan formal.
Dampaknya, banyak orang akhirnya main aman. Mereka lebih nyaman simpan uang di lemari, kaleng, atau bahkan bawah kasur. “Kelihatan, jadi lebih tenang,” begitu kira-kira alasannya.
Keterbatasan akses juga jadi faktor kuat. Di daerah terpencil, jarak ke bank bisa puluhan kilometer. Sinyal internet juga sering jadi masalah. Akhirnya, pilihan paling realistis ya tetap di rumah.
Kebiasaan turun-temurun pun punya peran besar. Orang tua zaman dulu terbiasa hidup tanpa bank, dan pola itu diwariskan ke generasi berikutnya. Bagi sebagian warga, uang tunai dianggap lebih “nyata” daripada angka di layar HP.
Rasa takut terhadap kejahatan digital juga masih tinggi. Isu kebocoran data dan penipuan online bikin banyak orang ragu pakai layanan digital banking, meski sebenarnya bank sudah pakai sistem keamanan berlapis.
Bagi pelaku usaha kecil, simpan uang di rumah juga dianggap lebih fleksibel. Uang bisa langsung dipakai buat modal harian tanpa nunggu proses pencairan. Tapi, risikonya jelas tinggi—kalau kebakaran atau kemalingan, uang bisa lenyap seketika.
Dari sisi ekonomi, kebiasaan ini justru bisa bikin uang nggak berputar di sistem formal. Akibatnya, potensi pertumbuhan ekonomi nasional jadi terbatas karena dana masyarakat nggak tersalurkan lewat lembaga keuangan.
Pemerintah bareng OJK kini terus dorong inklusi keuangan biar makin banyak warga beralih ke sistem formal. Tapi tantangannya bukan cuma bikin orang buka rekening, melainkan juga membangun rasa percaya bahwa uang mereka benar-benar aman dan bermanfaat di bank.